Pesawat mendarat selamat di KIA. Para penjemput sudah menanti dengan transportasi. Sekitar hampir sejam perjalanan dengan jeep yang kadang gonjang-ganjing, perut sudah hampir mencapai limit. Isi perut keluar lagi tanpa permisi. Ibarat pertempuran, mungkin otot perut saya sama lelahnya dengan si empunya lambung karena berulang kali mengeluarkan isinya. Â Menjelang tengah malam, tujuan final tercapai.Â
Demikianlah puasa yang gagal karena safar. Bukan karena safar tak terencana. Namun selalu ada faktor-faktor tak terkendali sekaligus tak dikehendaki (baca: travel sickness) yang muncul. Mungkin inilah salah satu hikmah mengapa musafir alias mereka yang bepergian (dengan jarak yang tak bisa dibilang dekat) boleh tak berpuasa. Yang kuat stamina, silakan tetap puasa. Yang memang boleh berbuka, silakan berbuka. Indahnya perbedaan bila paham makna di baliknya.
P.S: Ternyata rekan seperjalanan saya sukses menilep cokelat dan beberapa makanan ringan lain dari pesawat, sangat bermanfaat untuk buka bahkan sahur esoknya
Salam PerantauPembelajarPenikmatHidup
Jakarta, 03-07-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H