“You didn't go for Eid praying?” tanya Jacklin lagi.
(Ternyata saya yang amnesia mendadak.)
Barulah saya sadar sesadar-sadarnya bahwa hari itu libur Idul Adha. Berhubung Idul Adha-nya jatuh lebih awal dari tanggal merah yang tercetak di kalender, staf yang non-muslim tetap masuk. Jadi, libur harpitnas tidak diberlakukan sebagaimana umumnya di Indonesia.
Jadilah saya dan Jackline awalnya cengengesan bersama, tetapi kemudian malah jadi ngakak berjamaah. Kebetulan hanya saya seorang yang mengunjungi perpustakaan saat itu.
Otak pun menimbang-nimbang. Kalau saya lari maraton menuju masjid terdekat sekalipun, tetap saja acara sholat id-nya sudah kelar dan jamaah sudah pada bubar.
Mungkin Dia 'sengaja' membuat saya lupa bahwa hari itu Idul Adha. Kenapa? Mungkin supaya saya tidak lupa, bahwa sholat id itu hukumnya sunnah muakkad. Dilakukan lebih baik, tapi jika tidak pun tak apa-apa jika sudah ada sebagian lain yang melakukannya. Jadi, ya saya pilih lanjut....kan bacanya hehehe. Rupanya otak saya saat itu sudah sukses mengikuti pola libur non-harpitnas di sana.
Bukan berarti saya tak suka harpitnas. Siapa sih yang tak suka libur? Ini hanya sekelumit catatan nostalgia ber-Idul Adha di negeri orang. Apapun yang terjadi dalam hidup, kalau dinikmati dan diambil sisi positifnya, tak ada yang sia-sia.
Libur tak libur, yang penting nurani jangan libur.
Salam PerantauPembelajarPenikmatHidup
Jakarta, 13-10-2013