Mohon tunggu...
Hastuti Ishere
Hastuti Ishere Mohon Tunggu... Administrasi - hamba Allah di bumiNya

Manusia biasa yang senang belajar dan merantau. Alumni IPB yang pernah menempuh pendidikan di negeri Kilimanjaro. Bukan petualang, hanya senang menggelandang di bumi Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dia ODHA, Dia Narsis di Mana-mana

1 Desember 2013   10:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:27 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_305724" align="aligncenter" width="619" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Dulu, saya bertekad takkan mau dirawat di rumah sakit selama saya masih di Tanzania. Karena pasti ada ODHA di sana. Mereka yang ODHA diamputasi, dioperasi jantungnya, diambil darahnya, dan mengalami segala prosedur medis yang dibutuhkan sesuai dengan non-ODHA. Intinya, sulit saya menerima harus dirawat bersama para ODHA. Nggak percaya jarumnya, demikian kata teman saya. Saya ikut terjangkit sindrom paranoid ODHA. Nyatanya, dua tahun lalu, saya akhirnya melangkahkan kaki dengan pasti ke dalam ruang praktik dokter. Mau tak mau gigi saya harus dicabut. Kalau nunggu pulang ke Indonesia sekedar cabut gigi, lebih parah akibatnya. Bisa-bisa saya gagal ujian cuma gara-gara alasan sepele nan tak masuk akal. Itu jelas cari mati tanpa menggorok leher sendiri. Ketika saya masuk, ada pasien lain yang sedang dioperasi mulutnya. Seorang ibu berbadan subur, dengan sekujur badan berdarah-darah tapi sadar penuh. Ia merintih-rintih. Saya yakin bukan karena operasi mulutnya, tapi tentu karena sakit di bagian tubuh lainnya. Mungkin saja dia ODHA, mungkin pula bukan. Tapi jelas saya dan dia mendapat perawatan di ruang yang sama, rumah sakit yang sama, dengan prosedur yang diperlukan sesuai kondisi masing-masing. Waktu berlalu. Gigi sudah sehat. Saya makan di kantin dekat rumah sakit kampus. Bukan yang pertama, tapi jelas beberapa kali dalam seminggu. Sebuah bohlam menyala di kepala. Kok tak pernah terpikir sebelumya ya? Sendok, garpu, dan alat-alat makan yang saya gunakan mungkin sudah pernah dipakai oleh banyak ODHA. Pengunjung yang makan di kantin tersebut toh bukan saya dan ODHA semata. Dokter, perawat, satpam, bahkan para mahasiswa kedokteran bule yang sedang dalam program pertukaran, doyan dan betah makan dan minum di sana. Bahkan mungkin ada yang terkena cinlok kopi susu (pendatang bule-penduduk lokal) dari sana. Siapa tahu? Memori itu, membawa ingatan saya tentang Jackson. Dia ODHA, suami dengan anak lebih dari 5, dan masih tinggal dengan istrinya. Tak perlu saya ungkit bagaimana dia jadi ODHA. Itu sudah terjadi. Dan ya, dia orang Tanzania asli, Afrika asli. Tapi ini bukan masalah negara. Mau Afrika, mau Asia, apalagi Eropa dan Amerika, semua punya ODHA. Saya kurang tahu kalau di Antartika sana. Dengan segala kekurangannya, Jackson pernah bela-belain datang mendoakan kesembuhan saya. Padahal jelas-jelas saya sudah lama keluar dari rumah sakit. Saya sudah tuliskan kisahnya di sini. Bulan demi bulan berlalu. Saya naik tingkat dan jarang berinteraksi dengan Jackson lagi. Dia masih sering datang ke kampus, karena sudah langganan jadi pasien model untuk praktik mahasiswa. Satu-satunya pasien model yang ODHA. Satu-satunya ODHA yang saya kenal begitu hormat dengan non-ODHA. Mengapa? Kalau sensasi paranoid saya kambuh, saya bahkan hanya menyapanya saja. Jangankan saya, yang sesama lelaki saja kadang tak mau salaman dengannya. Namun apakah Jackson merasa turun percaya dirinya? Ternyata tidak. Dibandingkan sesama pasien amputasi lain, dia cukup eksis dan narsis. Dia ramah pada siapapun yang tak berniat jahat padanya. Dibandingkan dengan rekan sejawatnya yang sama-sama pasien model, bedanya hanya rekan Jackson non ODHA tapi pengidap diabetes, sama-sama punya gadget yang bisa internetan, cuma Jackson yang justru doyan internetan. Adik kelas saya bahkan sudah pernah bolak-balik ke rumahnya hanya untuk mengambil sepatunya. Adik kelas saya, sesama orang Indonesia, memilihnya sebagai model pasien untuk ujian akhir tahunnya. Padahal banyak kandidat lain yang non-ODHA. Hasilnya? Jackson sering memberi komen atau di-tag untuk foto, di lapak Facebook milik adik kelas saya itu. Wahai ODHA, tunjukkan pada dunia bahwa kau ada, tak berbahaya, dan tak berniat membahayakan orang lain. Kalian berhak bahagia tanpa harus menambah kawan sesama ODHA dengan cara merugikan. Duhai para non-ODHA, para ODHA sesungguhnya juga ingin eksis dan narsis. Mereka harus eksis bukan karena mengerikan. Mereka cuma ingin dipercaya bahwa mereka tak akan membahayakan jika tidak di-bahaya-kan karena paranoid yang berlebihan. ...yang sedang-sedang sajaaa.... (dicatut bukan karena suka dangdut) Just an unspoken respect for Jackson. If we will never see each other again, He always unite us as those who are still faithful with Him. (sebulan menuju akhir tahun 2013) Jakarta, 01-12-2013 Salam PerantauPembelajarPenikmat Hidup

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun