Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pesan Terakhir

17 November 2021   02:52 Diperbarui: 17 November 2021   03:01 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku masih melihat gundukan tanah merah di pusaramu. Masih belum percaya kalau kau telah pergi begitu cepat. Bahkan kilatpun kalah dengan kepergianmu. Masih terbayang kau selalu meninabobokan anak kita. Menyusui dan mengajaknya bercanda. Anak kita, Bumi memang sedang lucu-lucnya. Celotehnya yang gak jelas tapi kita orangtuanya tahu apa yang dia maksud. Dan itu membuatmu tertawa lepas. Masih lekat tawamu, senyummu dan marahmu di mataku. Tapi sekejap semua sirna dalam pandanganku. Hilang tak berbekas meninggalkan rindu , kehilangan dirimu. Dan saat-saat ini aku sangat merindukanmu, Mira. Anakmu rewel setiap malam, mungkin mencari dekapanmu tapi tak ada. Saat Bumi menangis akupun ikut  menangis. Diriku selalu bilang aku harus kuat tapi aku sebetulnya tak kuat. Kau pergi begitu cepat saat Bumi benera-benar membutuhkanmu. Tapi kau pergi? Aku harus bagaimana? Truk sialan itu telah menewaskanmu.

Masih terbayang saat itu kita bertiga mau pergi ke wisata taman yang indah. Naik motor bertiga dengan perasaan senang. Tapi tiba-tiba truk yang sedang melaju kencang oleng ke kiri yang menyebabkan motor yang aku kendarai oleng . Tapi aku berusaha menahan motor dan aku pegang Bumi dari depan tapi Bumi tertarik oleh Mira yang jatuh dengan membentur aspal. Bumi ada di atas tubuh Mira  dan itu yang menyelamatkan dirinya. Bumi tak ada luka satupun tapi Mira kena benturan keras di kepalanya. Helmnya terlepas, mungkin Mira lupa mengikat helmnya sehingga bisa terlepas. Dan aku menghantarkan Mira keperistirahatan terakhirnya dengan perasaan duka yang dalam. Tiba-tiba terdengar tangisan Bumi. Aku bergegas ke kamar dan menggendong Bumi dengan rasa sedih. Ibuku menghampiriku dan mengendong Bumi . Air mataku selalu turun dan masih perih di dadaku. Mira, kenapa kau pergi begitu cepat pergi?

Waktu aku membersihkan meja rias Mira, perlahan air mataku turun lagi. Selalu aku tak bisa menahan air mataku turun. Aku begitu mencintainya. Aku melihat amplop kecil di laci. Itu tulisan Mira. Aku buka dan aku baca. Aku mulai sesunggukan . Mira ternyata sudah punya fiarsat kalau dia akan pergi. Ini surat permintaan maaf kalau dia belum bisa membesarkan Bumi dengan baik sampai besar. Mira juga menuliskan kalau dia mencintaiku sepenuh hatinya dan meminta maaf kalau dia akan pergi ke tempat yang jauh. Aku begitu terkejut. Mira sudah merasakan akan pergi dan surat ini membuat hatiku semakin perih. Rasa cintanya buat Bumi dituliskan begitu indah dalam suratnya . Dan terakhir dia menitipkan Bumi untuk dirawat dengan cinta yang tulus sampai Bumi dewasa. Air mataku terus mengalir. Mira , aku mencintaimu. Akan aku rawat Bumi untukmu . Dan aku akan selalu mencintaimu sampai kapanpun, kau selalu akan ada dalam hatiku. Terimakasih atas cintamu, Mira

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun