Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ujian

1 Oktober 2021   02:54 Diperbarui: 1 Oktober 2021   03:04 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Ujian/sumber: smpn4kotabekasi.sch.id

Kali ini pak Rohim belajar dengan sungguh-sungguh karena ujian semakin dekat. Walau sekarang pak Rohim punya jabatan bagus di perusahaannya tapi kebijaksanan baru harus tes wawaasan kalau masih mau menduduki jabatannya. Pak Rohim tahu banyak yang mengincar jabatannya. Makanya pak Rohim belajar sungguh-sungguh agar jabatannya masih bisa dipertahankan.

            "Makan dulu, pak. Ini sudah malam,"tukas istrinya

            "Aku masih belajar. Aku harus lulus."

            "Tapi kalau kau tak makan, kesehatanmu malah terancam,"tukas istrinya lagi. Tapi pak Rohim tak bergeming. Ini prestise. Sampai dia gagal mau ditaruh mana mukanya.

Ternyata apa yang dia pelajari sama sekali tak ada yang keluar. Tes wawasan ini aneh sekali. Pertanyaan-pertanyaannya membingungkan. Abu-abu baginya. Dan keluar dari ruangan pak Rohim terduduk lesu. Sudah pasti dirinya tak lulus. Dan dia mulai mengoceh kalau soal-soalnya itu tak kompeten bagi perusahaan. Hal-hal seperti itu ditanyakan. 

Pak Rohim mulai berkicau karena tak puas dengan soal-soalnya yang katanya melenceng dari persoalan-persolan perusahaan. Pak Rohim gak puas, dan dia mulai ngoceh baik ke dalam perusahaan maupun keluar perusahaan. 

Akhirnya malah menjadi bumerang bagi pak Rohim sendiri. Dalam perusahaan juga ada yang tak puas sehingga terdapat dua kubu yang saling berlawanan. Situasi perusahaan semakin memanas. Semua bicara . Berita-beritapun lalu lalang bahkan berita yang keluarpun menjadi konsumsi publik.

            "Katanya pak Rohim bakal gak menjabat lagi ya, ?" tanya tetangganya. Pak Rohim mulai geram. Semua sudah tahu. Dia mulai gak terkontrol . Pak Rohim mulai banyak uring-uringan. Kini jabatannya bakal hilang. Kelak tak ada lagi yang hormat pada dirinya. Dia mulai gelisah. Istrinya mengeluh karena terganggu dengan teriakan-teriak pak Rohim saat tidur.

            "Kalau aku tak menjabat lagi, kamu juga bakal susah. Uang belanjamu kurang,"teriak pak Rohim saat istrinya menasehatinya. Istrinya menyingkir karena percuma dalam keadaan emsoi seperti itu mana bisa pak Rohim dinasehati. Padahal istrinya juga gak pernah meminta banyak . Istrinya mulai gelisah melihat kondisi suaminya. Dia memanggil temannya yang psikolog. Tapi rupanya pak Rohim marah besar.

            "Aku bukan gila, aku dizholimi .Tes itu menjebak," teriaknya. Pak Rohim mulai membuat opini seakan-akan perusahaannya gak benar. Seolah-olah dia dizhalimi. Dan berhasil. Banyak orang-orang diluar sana mulai ikut protes . Walau juga ada yang setuju dengan perusahaan.

Singkat cerita akhirnya pak Rohim diberhentikan karena tak lulus. Dan pak Rohim mulai berteriak kalau dia dizhalimi. Dan yang mendukungnya mulai kasak kusuk mau membuat gerakan. 

Gerakan bawah tanah. Semua usaha untuk merongrong perusahaan ternyata gak mempan termasuk ke pengadilan. Pak Rohim sudah banyak mengeluarkan uang buat protesnya tapi tetap saja dia harus berhenti dari jabatannya.  Dia mulaii merancau.

Begitulah saat orang tak bisa menerima kekalahan akhrinya hanya mulut yang bisa bicara. Mengumpat, memaki , kalau perlu mengeluarkan kata-kata kotor. 

Tapi semua itu tak akan menenangkan juga. Pak Rohim setelah turun jabatannya. Dia mulai suka menyendiri. Powernya sudah berkurang kini. Dia tinggal remehan yang ditinggalkan. Dia hanya pegawai biasa sama dengan yang lainnya. Dan pak Rohim hanya merenung , kariernya sudah pupus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun