Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Vaksin

8 Januari 2021   02:20 Diperbarui: 8 Januari 2021   02:29 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pandemi sudah berlangsung hampir satu tahun tapi belum ada tanda-tanda akan berhenti. Kasus malah naik signifikan . Tapi banyak orang abai dengan protokol kesehatan. Masarakat sudah bosan dengan pandemi ini. Mereka terkekang dengan aturan protokol kesehatan, aturan PSBB yang semuanya mengekang kegiatan masarakat. Memang semua membuat banyak stres berat. Termasuk diriku. Aku mulai tak percaya corona mematikan. 

Sungguh. Yang mati tak seberapa dibanding populasi semuanya. Yang banyak adalah yang tak bergejala. Mengapa semua ribut? Sekolah-sekolah tutup, padahal anak sekolah bermain terus-terusan sepanjang hari bersama teman-temannya. Bahkan di saat liburan anak-anakpun diajak wisata ke tempat yang ramai. 

Tapi anehnya orangtuanya melarang mereka masuk sekolah. Aturna  PSSB yang membuat orang sulit mencari rejeki karena banyak pembatasan. Dan aku juga mulai merasakan usahaku menurun penghasilannya. Dan aku mulai kesal dengan kondisi seperti ini. Seperti semuanya dibuat-buat. Sungguh aku kesal. Mungkin aku sudah dimasukan dalam kelompok masarakat anti corona.

Kini corona muncul dan solusi yang terbaik katanya vaksin. Walau dalam keadaan darurat vaksin sudah banyak diproduksi walau banyak yang uji klinisnya belum selesai. Tapi katanya dalam kondisi darurat ini tak mengapa. Aku mulai merasa diriku tak perlu vaksin. Aku masih kuat dan aku sudah makan dengan nutrisi yang baik, olahraga. Aku rasa corona akan kabur dari diriku. Aku membayangkan akan mendapat vaksin yang keamanannya belum bisa dipastikan. Pokoknya aku gak mau. Bagaimanapun orang akan membujuk aku, aku tetap tak mau.

            "Kalau begitu kamu egois dong,"tukas Dudi temanku.

            "Egois apa?"

            "Ya, egois, karena vaksinasi itu bisa berhasil kalau semua vaksinasi sehingga masarakat semua kebal. Lah kalau kamu gak vaksin gimana ?

            "Kan, yang lain vaksin , mereka gak bakal tertular?"

            "Dan yang gak mau vaksin bukan kamu saja. Makanya jangan jadi egois. Emang kamu orang yang antivaksin ?" Sudah berapa kali aku berdebat dengan temanku. Aku butuh orang yang sejalan dengan pikiranku.

Aku heran aku berada dalam ruang tunggu praktek dokter. Aku sakit apa? Rasanya aku baik-baik saja.

            "Mas, sedang nunggu dipanggil dokter?  Orang di sebelahku menggangguk.

            "Sakit?" tanyaku lagi. Orang di sebelahaku menatapku heran.

            "Loh, mas ini gimana, ini kan antrian orang yang mau divkasin corona."  Tiba-tiba saja kepalaku berdenyut kencang, membuatku pusing seketika. Vaksin? Kenapa aku tak tahu kalau ini antrian buat vaksin. Kenapa aku datang, padahal aku tak mau divaksin. Masih ada10 orang lagi sampai giliran aku. Aku harus kabur dari sini, tapi aneh sekali setiap pintu keluar dijaga ketat oleh polisi. Aku memandang keluar. Orang-orang diperiksa tanda bukti kalau sudah divaksin. Mampus aku. Bagaimana caranya aku bisa keluar.

            "Mau kemana?"

            "Mau ke toilet,"tukas aku. Aku ke toilet dan mencari jalan agar aku bisa kabur dari sana. Tak ada celah dari toilet untuk kabur dari sini. Aku berjalan ke area belakang klinik dan aku melihat pintu kecil. Aku menyelinap dari pintu kecil itu. Syukurlah aku bisa keluar. Tapi saat aku mulai melangkah ke luar tak ada jalan lain harus melewati gerbang utama. Aku harus bisa memanjat tembok tinggi di seberang sana.

            "Hei, kamu mau kemana, sudah divaksin?" tanya petugas polisi. Aku langsung lari sekencang mungkin tapi polisi lebih cekatan. Aku ditangkap dan langsung dimasukan dalam ruang praktek dokter. Aku mulai meronta-ronta, tapi tangan polisi itu begitu kuat. Aku berteriak-teriak saat jarum suntik mendekatiku. Jarumnya sangat besar

            "Jangan bergerak, nanti jarumnya putus. Tenang,"tukas doktenya

Tapi aku tak bisa diam. Aku mulai berteriak sekencang mungkin.

            "Tolooooooong!" Jarumnya putus dan aku terbangun dengan tubuhku dibasahi keringat dingin. Aku hanya mimpi belaka. Untunglah .

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun