"Sakit?" tanyaku lagi. Orang di sebelahaku menatapku heran.
      "Loh, mas ini gimana, ini kan antrian orang yang mau divkasin corona."  Tiba-tiba saja kepalaku berdenyut kencang, membuatku pusing seketika. Vaksin? Kenapa aku tak tahu kalau ini antrian buat vaksin. Kenapa aku datang, padahal aku tak mau divaksin. Masih ada10 orang lagi sampai giliran aku. Aku harus kabur dari sini, tapi aneh sekali setiap pintu keluar dijaga ketat oleh polisi. Aku memandang keluar. Orang-orang diperiksa tanda bukti kalau sudah divaksin. Mampus aku. Bagaimana caranya aku bisa keluar.
      "Mau kemana?"
      "Mau ke toilet,"tukas aku. Aku ke toilet dan mencari jalan agar aku bisa kabur dari sana. Tak ada celah dari toilet untuk kabur dari sini. Aku berjalan ke area belakang klinik dan aku melihat pintu kecil. Aku menyelinap dari pintu kecil itu. Syukurlah aku bisa keluar. Tapi saat aku mulai melangkah ke luar tak ada jalan lain harus melewati gerbang utama. Aku harus bisa memanjat tembok tinggi di seberang sana.
      "Hei, kamu mau kemana, sudah divaksin?" tanya petugas polisi. Aku langsung lari sekencang mungkin tapi polisi lebih cekatan. Aku ditangkap dan langsung dimasukan dalam ruang praktek dokter. Aku mulai meronta-ronta, tapi tangan polisi itu begitu kuat. Aku berteriak-teriak saat jarum suntik mendekatiku. Jarumnya sangat besar
      "Jangan bergerak, nanti jarumnya putus. Tenang,"tukas doktenya
Tapi aku tak bisa diam. Aku mulai berteriak sekencang mungkin.
      "Tolooooooong!" Jarumnya putus dan aku terbangun dengan tubuhku dibasahi keringat dingin. Aku hanya mimpi belaka. Untunglah .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H