Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bingkisan Natal yang Tak Pernah Sampai

23 Desember 2020   02:26 Diperbarui: 23 Desember 2020   21:55 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku termangu saat aku menyadari Rara tak ada lagi. Bingkisan Natal  ini masih aku pegang . Hatiku berdebar kencang , nafasku memburu . Aku tak pandai untuk menutupi perasaanku. Perasaan kecewa. Mengapa Rara harus pergi? Aku hanya ingin bersahabat dengannya.

            "Maaf Tora, Rara memutuskan untuk tinggal di neneknya di Belanda,"tukas ibunya.

            "Oh, begitu ya. Aku pulang dulu." Aku melangkahkan kakiku perlahan dengan sejuta rasa yang membuat hatiku perih. Sangat perih. Berapa tahun kita berteman? Kau pergi tanpa kata, tanpa pernah mengucapkan selamat tinggal padaku. 

Apa salahku Ra? Sampai-sampai kamu melarang ibumu untuk memberikan alamatmu di sana. Aku bingung Ra, salah aku apa? Tolong jawab sekali saja, agar aku tahu kesalahanku. Agar aku bisa memperbaiki diriku. Pasti akan aku ijinkan kau pergi? Tapi kini aku hanya menyimpan perih di hati. Luka yang menganga ,berdarah. 

Engkau pintar menorehkan luka Ra, padahal aku tahu dulu engkau tak begitu Ra. Tapi sekarang mengapa kau begitu padaku? Apa salahku Ra? Tak habis-habisnya aku menyesali kepergian Rara. Rara teman kecilku, teman yang selalu ada untukku.

            Aku  selalu ingat Rara. Dia teman kecilku. Teman bermainku. Kalau tak aku yang main ke rumah Rara, pasti Rara yang main ke rumahku. Sampai aku menginjak remaja. Pertemanan berlanjut terjalin . Aku selalu merasa nyaman dengannya. Rara itu apa adanya. Dia selalu jujur padaku.

            "Lihat Ra, bisa gak kamu ngalahin aku nangkap belut,"tukasku sambil menunjuk belut-belut yang banyak di sawah milik pak RT.

            "Bisa, apa susahnya." Dan setelah hitungan ketiga, aku dan Rara mulai berlomba menangkap belut. Tak peduli tubuh kami kotor semua , hanya tawa yang terdengar di sawah. Berhenti setelah yang empunya marah karena kami merusak sebagian tanaman padinya. 

Kami berlari dengan sekantung belut di tangan. Kami tertawa bersama. Itu hanya salah satu kenangan aku bersama Rara. Setiap lebaran datang Rara akan datang ke rumahku. 

Dan saat natal tiba aku yang datang mengunjunginya. Itulah aku dan Rara. Persahabatan kami begitu akrab dan lintas perbedaan yang selalu menyatukan dalam kasih sayang. 

            "Pokoknya kita gak boleh berpisah,"begitu katanya padaku. Aku hanya mengangguk setuju. Ah,  selalu bahagia bersamanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun