"Di pot sebelah kamu." Syukulah aku masih punya teman, sedikit hilang rasa takutku.
"Di sini gelaap sekali," tukasku.
"Sabar, kalau kita sudah mulai berkecambah dan tumbuh kita akan bertemu dengan sinar mentari." Betul juga. Aku harus sabar. Dan aku yakin aku akan bertumbuh karena pemilik tanaman selalu rajin menyiram diriku.
Benar saja ada bagian yang bertumbuh di tubuhku. Warnanya hijau muda. Perlahan mulai bergerak naik ke atas.
"Lihat aku mulai bertumbuh," teriakku kegirangan. Dan aku sudah mulai melihat sedikit cahaya mentari. Temanku juga sudah mulai betumbuh.Â
Aku begitu gembira. Apalagi pemilik tanaman juga bersukacita. Ah, indahnya hidup ini. Tapi tak berapa lama tiba-tiba ada hewan besar datang dari atas. Terbang menukik ke bawah dan mulai memakan daun-daun kecil di tubuhku, aku meronta kesakitan.
"Jangan robek diriku. Jangan. Biar aku tumbuh." Tapi hewan itu tetap saja menggerogoti tubuhku sampai daunnya habis dan aku kehilangan nyawaku. Aku mulai sesak nafas. Kejam sekali belalang telah melahap semua daun muda yang baru tumbuh.Â
Kini semua hilang. Tinggal aku menjadi biji yang tak akan bisa bertumbuh lagi dan akan membusuk seiring waktu. Malangnya nasibku. Pemilik tanaman menatap sedih. Dan mulai mencampakkan aku keluar dari dalam tanah dan menggantikan dengan biji yang baru. Nasib malang menimpa diriku. Belum bisa bermanfaat tapi harus menjadi sampah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H