Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangisan Bayi

27 September 2019   02:28 Diperbarui: 27 September 2019   02:30 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : www.pixabay.com

Malam itu aku aku tak bisa tidur sedetikpun, bayiku yang baru berumur 3 bulan menangis terus. Aku putus asa. Sudah diberi susu, digendong dan diayun-ayun tapi tetap saja menangis.

Aku tak mengerti apa yang dirasakan bayiku ini. Biasanya gak pernah serewel ini. Menangis kalau pipis atau lapar. Selebihnya bayiku selalu lucu dan menggemaskan.

Kali ini , malam ini saat aku sendiri lagi , bayiku tak henti menangis . Entah mengapa.

Kemana suamiku semalam ini belum pulang saja. Diriku tak habis pikir, pekerjaannya memang serabutan , kadang ada , kadang tak ada kerjaan. Tapi selebihnya dia tak pernah berusaha sungguh-sungguh untuk bekerja.

Entah mengapa dia suka sekali ikut demo. Demo bareng-bareng buruh-buruh atau ikutan demo dengan mahasiswa. Pokoknya semua demo ia ikuti. Entah apa hasilnya. Hanya nasi bungkus dan uang 20 ribu sajakah?

Suatu hari dia pernah bilang, aku ini memperjuangkan teman-teman pada pemerintah yang gak adil. Pemerintah sudah zholim . Aku harus berjuang . Paling tidak aku sudah berbuat sesuatu . Aku membantahnya tapi aku kena gertak begitu keras.

"Apa kamu mau hidup seperti ini terus? Susah cari pekerjaan jaman sekarang?'

"Selama ini kamu juga tak berniat mencari pekerjaan. Lihat saja tuh si Somad, dia sudah dapat pekerjaan jadi keamanan di bank,"tukasku tak mau kalah.

"Astaga, kamu lihat hanya seorang satpam, satpam, apalah artinya?"

"Ya, ampun, tapi paling tidak dia punya penghasilan tetap. Lalu kamu mau kerja apa dengan ijasah SMAmu? Direktur?. Apa mungkin. Realistis dong. Kita juga perlu makan, bayar kontrakan. Itu semua butuh uang."

"Dengar ya, aku memperjuangkan nasibku dan teman-temanku. Kalau berhasil toh kamu juga akan menikmatinya. Ini sudah gak adil, bagaiamana susahnya cari pekerjaan. Aku ingin protes lagi tapi tampaknya tak mungkin lagi melihat sorot kemarahannya.

"Ya, sudah sana, tapi tolong hutang makan kemarin dan hari ini belum dibayar. Mak Iroh tak mengijinkan aku berhutang lagi kalau yang kemarin dan hari ini belum bayar,"tukasku. Dia merogoh kantung bajunya , hanya ada lima ribu rupiah di kantungnya. Mana cukup uang segitu, apalagi dia selalu makan daging di setiap makannya.

Malam ini, bayiku tetap saja tak mau tidur. Apa merasakan kalau ayahnya sudah tak pulang dua hari. Ada demo besar-besaran . Entah kemana dia pergi. Lupa punya keluarga yang harus dia beri makan. Untungnya uwa Siti tiap hari memberikan makan walau makan sisa kemarin.

Aku sudah lelah . mataku tak tahan lagi, kantuk begitu kuat . Tapi baru tertidur sebentar tangis bayiku mengeras lagi. Coba aku gendong dan ayun-ayun , masih terus menangis.

Dan tiba-tiba saja pintu rumahku digedor orang. Aku takut sekali.  Aku bukakan pinu. Beberapa oramg menggotong suamiku ke dalam rumah. Dia sudah tiada. Aku hanya diam membisu. Dan tiba-tiba saja bayiku juga terdiam. Sunyi malam itu menjelang pagi. Entah masa depan apa lagi yang harus aku hadapi. Semua gelap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun