Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Balada Penari Sintren

28 Juni 2019   02:24 Diperbarui: 29 Juni 2019   07:10 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: negerikuindonesia.com

Akhirnya aku menyerah juga. Setelah berulang kali melamar pekerjaan setelah lulus SMA tapi apa daya nasibku belum mujur. Selalu berakhir dengan penolakan. Banyak yang bilang aku terlalu pilih-pilih. 

Tapi apa aku tak boleh selektif? Aku ingin bisa memperbaiki kehidupan keluargaku. Bapak dan ibu adalah pekerja seni. Seni sintren. Aku tak mau menjadi bagian dari mereka. Bapak dan ibu tak bisa menurunkan pekerjaannya untukku seperti bapak dan ibu .

"Gimana nduk? Ini sudah waktu yang kamu janjikan untuk meneruskan sintren ini,"tukas ibu. Aku hanya bisa mengangguk lesu. Sebetulnya beban berat bagiku. Bukan karena hanya mau mengubah nasib tapi aku tak begitu suka dengan sintren dengan bau mistisnya. 

Aku takut dengan kemistisan sintren ini dan gak siap untuk jadi penari sintren. Selama ini ada perempuan yang dipekerjakan ibu, tapi sebentar lagi dia akan menikah. Penarinya harus yang perawan. Aku begitu takut dengan roh yang nantinya akan merasuki diriku. 

Ketakutan yang selalu menghantuiku malam --malam ini. Entah mengapa aku selalu mimpi dimasuki roh yang tak mau keluar lagi dari tubuhku. Membuat tubuhku semakin liar dan tak terkendali. Dan aku akan terbangun dengan keringat yang mengalir di sekujur tubuhku.

Sore ini , pertama kali aku menjadi penari sintren. Ibuku merangkul diriku. Ibu tersenyum bahagia . Kelak anaknya yang akan meneruskan sintren ini.

"Tenang nduk, gak apa-apa. Pak Soleh pawang yang sudah ahli, gak perlu takut,"tukas ibu. Sepertinya ibu mengerti ketakutan diriku. Sore itu di lapangan sudah berkumpul banyak orang. Suara riuh terdengar. Dan semua personel sudah kumpul untuk berdoa besama agar pertunjukannya selamat. Aku mulai dibawa masuk ke dalam kurungan dalam keadaan tangan terikat.. Dan mulailah terdengar suara alat musik  begitu keras. Aku  duduk dengan tubuh gemetar. Aku mulai keluar dengan penampilan yang berbeda dan mulai menari-nari. Aku merasakan bukan aku yang menggerakan seluruh tubuhku. Ada orang lain. Siapa dia?

"Kau tak ikhlas yang berperan sebagai sintren?" aku mencari-cari siapa yang bicara. Suara itu menanyakan lagi. Ah, suara dari yang memasuki tubuhku.

"Iya, aku gak suka dan takut sekali. Aku benci ini," tukasku.

"Apa kamu mau selamanya begini,?

"Ya, gimana lagi. Memang kamu tahu caranya aku bisa gak jadi penari sintren lagi?" aku mulai kesal dengannya. Apa maksudnya mencampuri urusanku.

"Aku tahu cara membebaskan kamu untuk tak lagi menjadi penari."

"Bisa?" tanyaku sangsi.

"Bisalah." Sambil membisikan sesuatu di telingaku. Sementara waktu aku masih menari-nari. Aku terkejut. Jadi aku bisa gak jadi penari lagi dengan cara kamu membawa rohku .

"Gak, aku gak mau." 

Aku mulai ketakutan. Tarianku semakin gila. Penonton semakin suka dan mulai bertepuk tangan. Tapi kekuatan dalam tubuhku mengajakku untuk pergi. Aku tak mau, aku mulai berusaha menyadarkan diriku tapi hanya pawanglah yang bisa. Aku mendekati pak Soleh tapi dia tetap komat kamit membacakan mantra. Tiba-tiba saja penonton ada yang melemparkan sesuatu yang menyebabkan aku pingsan. 

Dan pawang yang akan membangunkanku. Waktu pak Soleh mau membangunkanku, roh yang masuk dalam tubuhku malah menarik rohku.

"Jangan, aku tak mau. Aku masih mau ketemu orang tuaku." Aku mulai menangis. Aku melihat pak Soleh tubuhnya bergetar berusaha untuk membangunkan aku tapi roh itu menarik rohku. 

Tiba-tiba saja tubuh pak Soleh terlempar kuat ke belakang. Semua penonton menjerit. Ibuku mendekatiku dan berusaha membangunkan aku. Tapi aku tak bangun lagi. Rohku sudah pergi bersama roh lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun