Mohon tunggu...
Hastira Soekardi
Hastira Soekardi Mohon Tunggu... Administrasi - Ibu pemerhati dunia anak-anak

Pengajar, Penulis, Blogger,Peduli denagn lingkungan hidup, Suka kerajinan tangan daur ulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan Membunuhku

30 November 2018   02:52 Diperbarui: 30 November 2018   03:08 503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mulai membenci hujan. Entah mengapa. Sudah lima tahun ini saat hujan datang selalu membuatku ketakutan. Tubuhku selalu bergetar , dan menggigil dan tiba-tiba saja ada suara aneh di telingaku yang menyuruhku untuk membenturkan kepala ke tembok. Bisikan itu begitu menakutkan. Semua bermula saat mama dan papa sering berteriak keras saat bertengkar. 

Hampir setiap hari aku harus mendengarkan mereka bertengkar dan adu mulut. Itu seperti neraka bagiku. Dan malam saat hujan turun itu menambah ketakutanku. Hujan bagiku menyeramkan karena aku merasa akan ditinggalkan oleh orang-orang yang aku sayangi tapi mereka sibuk dengan dirinya sendiri. Sampai akhirnya mereka berpisah juga meninggalkan luka di hati. Dan mereka tak peduli dengan diriku. Aku sendiri , tak ada teman tak ada yang merasakan luka hatiku. Itu menyakitkan.

Akhirnya hujan bagiku sangat menakutkan. Peristiwa itu selalu menjadi mimpi buruk bagiku. Dan hujan akhirnya akan membunuhku perlahan. Benar. Setiap hujan turun aku mulai ketakutan. Selama lima tahun aku harus ketakutan saat hujan sendiri. 

Dimana mereka berada? Mereka tak peduli dengan diriku . Satupun tak peduli. Jadi aku ini siapa? Anak mereka?  Lalu kemana mereka saat aku butuh mereka. Aku anak yang tercampakan. Teman- teman bisa bergembira bersama teman yang lain, menikmati masa remaja. Aku. Di sini hanya sendiri. Saat hujan kembali aku ketakutkan. Tolong daku, aku tak kuat lagi dengan ketakutanku. Aku semakin takut

Ini musim hujan keenam yang aku harus alami lagi. Aku mulai tak kuat untuk melawan ketakutanku. Petir menyambar saat hujan semakin melebat. Inikah saatnya harus tiba? Saat aku sudah tak kuat lagi menahan ketakutanku sendiri. Hujan begitu besar di luar. 

Air mengalir deras di jendela kamar. Aku melihat bayang-bayang mama papa di jendela. Mereka sedang bertengkar. Samar-samar suara mereka bergema dalam telingaku. Begitu menyakitkan. Teriakan itu seperti menghujam telinga. Hujan semakin deras. Bau tanah mulai tercium. Daun bergoyang keras  karena angin . 

Aku mulai ketakutan. Tubuhku menggigil keras . Aku bersimpuh di lantai, aku memeluk kakiku. Aku sendiri lagi. Kini kepalaku mulai berputar keras sekali. Aku terus memeluk kakiku kuat-kuat. Air mataku mulai jatuh satu persatu dan mulai membanjiri lantai. Aku terus menangis. Aku takut . Hujan begitu menakutkan.

Tiba-tiba saja aku seperti dibangunkan orang. Tubuhku digoyang-goyangkan. Dan hujan sepertinya sudah berhenti.

"Ika...Ika, bangun nak. Ini mama."

"Ika...Ika , bangun ini papa." Tubuhku digoyang-goyang terus. Heran tubuhku semakin ringan dan aku melihat mama dan papa lagi menangisi tubuhku. Mereka berdua menangisiku. Aku kenapa? Sudah meninggalkah? Aku melihat diriku diam tak bergerak lagi. 

Aku sadar aku tahu hujan akan membunuhku perlahan. Aku tahu sekarang. Terbukti hujan membunuhku perlahan. Dan mama dan papa , kalian terlambat datang. Aku membutuhkan kalian, tapi kemana kalian. Sekarang saat aku sudah tak berdaya, mengapa kalian datang dan menangisiku? Sudah tak perlu kalian tangisi diriku. Hujan sudah membunuhku perlahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun