Tersontak hatiku saat kutahu ku kan terpisah sangat jauh dengan kedua orang tuaku, mengiris hati ini saat kutahu ku tak kan bisa berada di bawah ketiak mereka lagi. Lunglai memang betis ini terasa, goyah memang kaki ini melangkah saat pertama kali kuharus menerima kenyataan bahwa Makassar akan menjadi kota yang akan masuk dalam biografi kehidupanku. Bagaimana kubisa bertahan dengan jarak yang menurutku maha jauh itu. Bukittinggi, Sumatera Barat. Disanalah keluarga besarku.
Tak mungkin lagi kumundur, tak mungkin lagi ku balik kanan menatap jalan yang tak pasti. IPDN tlah kupilih sebagai jalan hidupku. Pengabdian yang akan kulakukan pada negara tlah terniat dalam hati kecilku. Orang tua yang menunggu kesuksesanku selalu terbayang di benakku. Tak kubayangkan bila dua orang yang paling berjasa dalam hidupku ini menagis karena egoku. Inilah alasanku tuk tetap maju, walau lelah raga ini, walau tak terima hati ini.
Sedikit bercerita, Angkatan 19 IPDN( Institut Pemerintahan Dalam Negeri) adalah angkatan pertama mulai diberlakukannya regional. Kampus pusat berada di Jatinangor, Jawa Barat, sedangkan kampus regional terdapat di 4 provinsi lainnya. Tepatnya di Bukittinggi Provinsi Sumatera Barat, Pekanbaru Provinsi Riau, Makassar Provinsi Sulawesi Selatan, dan Manado Provinsi Sulawesi Utara.
Tak pernah ku bermimpi akan bersekolah di Makassar, membayangkan pun tidak. Jujur saja, salah satu alasanku untuk bersekolah disini adalah karena salah satu kampusnya berada di Bukittinggi, yang jelas dekat dengan kediamanku dan keluargaku. Tapi takdir berkehendak lain, lembaga mempercayaiku bersama 99 orang rekanku yang berasal dari Sabang sampai Merauke untuk menghirup udara Makassar selama beberapa semester. Tak ada satupun keluargaku di kota yang terkenal dengan Pantai Losari ini, baik dari keturunan ibu, ataupun keturunan bapakku. Padahal aku adalah anak bungsu ingusan yang dari dulu selalu mendapat kasih sayang dan perhatian lebih dari orang tua dan kakak-kakakku. Yang aku bayangkan, bagaimana jika aku sakit nanti, bagaimana jika suatu saat ku tak punya uanglagi, bagaimana jika suatu saat aku sudah tak punya semangat lagi?? Kepada siapa ku kan mengadu?? Bahu siapa yang kan kupakai tuk sandarkan kelelahanku nanti??? Kemungkinan terburuk selalu menjadi setan tuk hentikan langkahku. Namun semangatku menutupi itu semua.
Satu tahun empat bulan, adalah kurun waktu yang tlah berhasil kulalui di Makassar ini. Canda tawa bersama teman-temanku menjadikan hidupku berwarna. Suatu kebanggaan bagiku bisa berbagi dengan 99 orang yang berbeda etnik, ras, budaya, agama, dan bahasa dari seluruh nusantara. Aceh sampai Papua. Kami diajarkan korsa (kebersamaan). Bila yang satu sakit, yang lainpun sakit. Dari pagi sampai malam menjelang mereka selalu mengajarkanku arti kehidupan. Aerobik bersama, makan dengan porsi yang sama di ruangan yang sama, apel bersama, kuliah dengan dosen yang sama, kena hukum bersama, dan tentu saja (maaf!!) buang air di lubang yang sama. Tidak ada kamar mandi khusus anak pejabat, tidak ada tempat tidur khusus anak orang berada, tidak ada kegiatan tertentu yang boleh tidak diikuti oleh kalanganan anak konglemerat. Mau anak pejabat, mau anak pedagang, mau anak petanipun sekalian tetap mendapat porsi yang sama di semua hal.
Saat aku merasa sakit, begitu banyak perhatian yang kuterima. Saat ku rindu dengan kampung halaman mereka selalu memberikanku arti di balik perjuangan. Saat kulelah, bahu mereka selalu siap untukku bersandar agar kutegar. Saat kusalah, mereka selalu memberiku peringatan agar aku manjadi lebih baik. Walau ku tak punya keluarga, tapi mereka sudah menjadi darah dagingku.
Begitu banyak pengalaman berharga yang kudapatkan di Makassar ini,
Menjadi Pasukan Prosesi Pernikahan Purna Praja, jalan Pagi Bersama Gubernur Sulsel , Bapak Syahrul Yasin Limpo.kesempatan Foto bersama Gubernur Sulsel dan Bapak Mendagri yang menjabat pada saat itu
Dan banyak lagi pengalaman yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Walaupun di awal memberikanku keraguan yang begitu besar, namun akhirnya justru menjadi semangat untukku tuk belajar berdiri dan berbuat positif di kaki sendiri. Terimakasih teman-temanku yang telah memberikan semangat untukku. Ku mulai belajar untuk menghargai hidup dan mensyukuri apa yang telah diberi oleh Sang Maha Pemberi. Kini ku bukan gadis manja lagi. Aku adalah gadis yang akan menatap masa depan dengan tatapan pasti. Dan semoga kita segera berkumpul di hijaunya lapangan parade kampus pusat jatinangor tuk ciptakan pengalaman baru lagi. Ingatlah bahwa pengalaman adalah sesuatu yang tidak bias dibeli. Harganya melebihi apapun juga di muka bumi ini. Buat kedua orang tua yang selalu mendoakanku, aku ingin berkata bahwa kalian adalah inspirasi terbesar dalam hidupku, penyemangat terdahsyat untuk batinku. Perantauan ini adalah guru yang mengajarkanku arti kehidupan dan kemandirian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H