"Kamu ini, Sri! Nakal banget jadi anak. Makanya, kalau dinasehati orang besar itu nurut."
Bulek Ayu mendorongku dan mengusap kepala Dito. Dia marah-marah. Sampai aku berjalan pulang, dia masih marah.
Setelah hari itu, Dito enggak mau lagi main sama aku. Katanya, aku nakal. Dan waktu aku mulai masuk sekolah, dia terus bilang ke teman-teman kalau aku nakal. Aku enggak nakal. Ibuknya yang jahat sama aku. Sekarang dia juga jadi jahat kayak ibuknya. Aku enggak suka.
Di sekolah, Ibu Guru Ani baik sekali. Ibu guru selalu bilang kalau aku anak pintar. Sama kayak ibuku setiap kali mau pergi kerja, "Sri anak pintar, jangan buka pintu walau ada yang ketok-ketok, ya. Ibu pergi kerja dulu.". Pokoknya, Bu Guru Ani itu enggak kayak Bulek Ayu. Ibu guru bilang, aku anak baik. Ibu guru bilang, aku harus sayang sama orang tua. Beda sama orang-orang besar di sebelah rumah.
Orang besar di dekat rumahku bilang, ibuku itu nakal. Tuhan enggak suka sama Ibuku. Emangnya kenapa gitu? Aku suka, kok, sama Ibu. Dia adalah orang paling hebat. Dia yang nomor satu di dunia.
Orang besar itu jahat. Sama kayak Bulek Ayu yang udah bikin Dito jadi jahat, orang-orang besar itu pasti bikin anak-anaknya ikut jadi jahat. Kemarin mereka bilang enggak mau temanan sama aku. Terus tadi pagi mereka bilang enggak mau dekat-dekat sama aku.
"Sri udah gila."
"Iya. Kemarin aku lihat dia. Masa dia panggil bapaknya 'ibu'?"
"Kan, bapaknya pake baju perempuan. Enggak malu."
"Kata mamahku, bapak si Sri itu bencong."
"Iya. Kata ibukku kita enggak boleh main sama dia. Nanti bisa jadi bencong."