"Sayang sekali, padahal kau menyukainya yang selalu ceria dan bercerita banyak hal."
Aku terdiam. Entah apa yang membuat aku dan Felisha tak berkomunkiasi lagi. Setelah dari departemen obgyn, aku berpisah dengannya. Aku di departemen toraks, dia di IGD. Lalu, aku dengar dia mendapat nilai sangat memuaskan.
Hampir seharian penuh aku menghabiskan waktu di sini. Setelah mendampingi Dokter Yudi memeriksa seluruh penghuni rumah jompo, aku beristirahat di bawah pohon tabebuya kuning. Bangkunya sudah berlumut di beberapa bagian, tapi kata Simbok ini masih sangat kuat. Di bangku yang ada di bawah pohon jambu air, ada kakek tua berkemeja putih. Aku perhatikan, dia sedang memejamkan mata dengan wajah yang mengarah pada langit.
"Kenapa masih di sini? Tidak kembali ke hotel?" Dokter Yudi duduk di sebelahku.
"Nanti saja, Dok, sebentar lagi."
"Prof Ben menelepon, katanya kamu bisa melanjutkan studi di Shanghai."
"Siapa yang merekomendasikan? Tante Clara?"
"Kamu masih memanggilnya dengan sebutan itu?"
Aku diam. Dokter Yudi tampak seperti tidak menunggu jawaban apa-apa dariku. Dia kemudian kembali berujar, "Anak saya titip salam. Dia berharap bisa bertemu kamu suatu saat nanti."
Aku memilih diam. Anak Dokter Yudi setahun lebih tua dariku. Entah apa yang beliau ceritakan pada anaknya itu, tapi sejak enam bulan lalu dia mulai menitip pesan atau salam lewat ayahnya.
Kalau dipikir-pikir, hidupku ini aneh. Terlalu banyak hal yang tidak kuinginkan terjadi. Bertemu dengan Dokter Yudi dan menjadi sukarelawan di sini adalah salah satunya. Papi yang melakukannya. Katanya, ini baik untuk karirku ke depannya. Dan dari sekian banyak hal-hal aneh yang terjadi, hanya ini yang paling aku nikmati.