"Apa alasan kamu menikah?" Pertanyaan yang sejak beberapa minggu terakhir menjadi topik utama dengan aku sebagai narasumbernya. Tidak di tempat kerja, telepon dari saudara, pun sosok yang dulu mencium jari mungilku seraya berkata; tidak apa-apa. Lukanya sudah sembuh. Pintunya juga sudah ibu pukul.
Kamu, aku takut. Waktu telah memberiku banyak hal hingga detik ini, tapi ia juga mengambil sesuatu yang berharga dariku. Ia memberiku jawaban dari alasan aku menikah. Ia membantuku melukis cerita hidup berdua. Namun, ia mengambil kebersamaan kita.
Kamu, masihkah ingin mendengar jawaban akan pertanyaanmu; apa alasan kamu menikah? Ternyata, jawabannya sangat sederhana. Kamu pasti tertawa saat mendengarnya. Namun, pipiku sudah basah sekarang, saat akan menjawab pertanyaan itu. Aku bahkan kesulitan untuk mengungkapkan satu kata. Rasanya, dadaku sangat sesak sekali, membuat orang-orang menatapku sama-sama.
Kamu, ternyata benar, akhir dari hidup kita adalah kesendirian. Seperti kamu yang pergi menuju kesendirian dan aku yang kembali ke titik kesendirian pula. Seharusnya aku sadar lebih awal, bahwa dengan menyatukan dua hati yang merasa sendirian, ia akan menjadi teman yang menyenangkan untuk menuju kesendirian. Ya, aku gagal menemukan ide itu karena waktu memberi banyak sekali cerita untuk kita.
"Aku senang atasmu. Aku ikut bahagia untuk masa-masa yang akan kamu jalani dalam ikatan bernama rumah tangga. Maaf, waktu tidak memberiku banyak kesempatan untuk bersamamu. Sehingga, aku tidak bisa ikut duduk bersama orang-orang tersayangmu dan menyaksikan pernikahanmu. Tapi, kamu harus tahu, bahwa aku sangat menghargai apa yang waktu berikan untuk kita berdua." Itu adalah tulisan terakhirmu yang aku temukan di tas usangku. Tas kecil yang putus talinya saat kita baru saja turun dari bus kota. Kamu bilang, aku harus menggantinya dengan yang baru.
Kini, cokelat panasku tidak lagi mengepul, menguarkan aroma yang kuat, dan terasa hangat saat menyentuh gelasnya. Seperti ruang di dalam hatiku, cokelat panas favoritku itu tak lagi menjadi teman duduk. Rasanya pahit dan pasti dingin. Aku pun meninggalkan kafe dan segelas cokelat dingin itu setelah menulis sesuatu di atas kertas, tepat di sebelahnya. Harap-harap, ada orang lain yang membaca dan berniat menjawabnya sehingga bebanku berkurang.
"Apa alasan kamu menikah?"(*)
Bumi Lancang Kuning, 19-24 Mei 2021
Hassanah, seorang gadis kelahiran Aceh yang besar di Riau.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H