Oleh : Hassanah
"Apa alasan kamu menikah?"
Dia bertanya kepadaku. Pertanyaan itu sama persis dengan pertanyaanmu, sembilan bulan lalu. Pun dengan warna jingga di langit, sejuk sisa hujan yang baru saja reda, dan aroma cokelat panas yang memanjakan hidungku. Namun, bukan kamu yang ada di depanku saat ini. Kamu, bagaimana kabarmu sekarang?
"Untuk apa kita menikah?"
Dia kembali bertanya. Namun, berbeda dengan pertanyaanmu saat itu. Masih aku ingat senyum manismu kala bertanya, "Kamu mau kita menikah?". Kamu, aku rindu.
"Besok, kita resmi berjalan di jalan masing-masing. Kita akan menjadi asing, seperti sebelumnya."
Dia kembali berkata, lalu pergi meninggalkanku. Mungkin dia muak karena aku tidak menjawab satu pertanyaan pun. Sama seperti kamu yang pergi setelah mengatakan, "Hidup itu bukan sebuah permainan. Ia adalah ... waktu. Waktu di mana kamu akan kehilangan dan mendapatkan segala yang kamu mau, di saat yang sama. Waktu akan memberikan kamu sesuatu, pun dengan kamu, ada sesuatu yang harus kamu berikan padanya."
Aku melihat punggungnya yang keluar melewati pintu kaca kafe. Dinding kafe yang menggunakan kaca bening membuatku dengan mudah memperhatikan sosoknya. Dia tidak menoleh, terus berjalan, memasuki mobil jeep hitamnya, lalu menyusuri aspal yang digenangi air. Kamu tahu, ada sesuatu yang bergejolak di dalam dadaku saat ini. Rasanya, aku kembali seperti dulu.
Melodi yang mengalun memenuhi ruang kafe membawaku pada waktu yang telah berlalu, ketika aku bukan milik siapa-siapa. Denting piano itu masih sama, saat kamu datang membawakan pesananku, segelas cokelat panas. Dulu, di pertemuan pertama kita.
Aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Ketika kamu tersenyum sambil mengetuk mejaku, lalu meletakkan gelas dengan sangat ramah. Lalu kamu bertanya, apakah aku ingin memesan sesuatu yang lain? Padahal, aku sedang menangis kala itu. Aku sempat berpikir, kamu itu tipe orang yang tidak pandai membaca suasana.