"Salah satu alasan orang membenci politik adalah bukan kebenaran menjadi tujuan politisi, tapi pemilihan dan kekuasaan." - Cal Thomas
Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Presiden (Pilpres), pesta demokrasi lima tahunan yang selalu ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat di Indonesia.
Khususnya para politikus yang ikut berlaga dalam pesta demokrasi tersebut. Di Indonesia, pesta itu akan berulang lagi di tahun 2024.
Pilpres adalah gelanggang politik yang amat dinanti-nantikan oleh semua partai politik (Parpol) di negara manapun, termasuk Indonesia. Momentum itulah diharapkan akan terjadi perubahan dan perbaikan kesejahteraan rakyat (harap-harap cemas).
Terlebih untuk mereka yang ikut langsung dalam konstelasi politik Pemilu dan Pilpres, untuk memasang kuda-kuda agar bisa terpilih ahirnya berkuasa atau minimal punya pengaruh di pemerintahan.
Untuk selanjutnya dengan mudah memperoleh fasilitas dan tentu materi, harapannya kehidupan sosialnya bisa berubah, umumnya berpandangan seperti demikian itu.Â
Coba saja kita perhatikan fakta, baik di eksekuti maupun di legislatif. Kalau misalnya masyarakat datang menemui pejabat birokrasi ataupun legislator. Bila tidak sesuai bidang kerja dan urusan yang diperhadapkan, langsung dengan mudah menjawab "oh itu bukan bagian saya". Benar-benar pejabat negara seperti ini tidak punya integritas dan moral.
Bukan lagi memikirkan pengabdian untuk rakyat Indonesia. Tapi untuk ajang pamer kuasa dan mencari kekayaan yang semu, maka mereka-mereka tidak segan untuk menjual harta (tanah dan lainnya) hanya untuk ikut anggota legislatif ataupun ikut parpol dengan harapan bisa dekat dengan penguasa.
Setelah duduk di parlemen, terus berputar otaknya hanya untuk mengembalikan uang hasil investasi mereka. Jadi targetnya bukan lagi sebagai wakil rakyat. Hanya menjadi wakil diri, kolega dan kelompoknya.
Semua berstrategi dan membuka langkah seenaknya saja, seterusnya bersilat kata untuk pencitraan dan berpencat silat untuk meraup materi. Sehingga lawan bisa ditumbangkan dengan segala cara.
Realitanya, semua Parpol merasa kuat dan berhasrat melawan dan berlaga dalam pilihan besar adalah skenario biasa karena mereka ingin memenuhi keperluan serta kehendak yang telah digariskan olehnya.
Setop Antar Presiden Saling Tuding
Seharusnya janganlah saling menuding antar presiden dan presiden lainnya atau presiden sebelumnya. Karena pastilah ada sesuatu pekerjaan yang di lanjutkan oleh presiden baru atas rancangan presiden lama.Â
Itulah hakekat adanya program jangka panjang, program pasca berkuasa masih harus dilanjutkan oleh penerusnya. Agar kehidupan bangsa ini berputar tanpa berhenti.
Kalau tidak ada pekerjaan yang dilanjutkan oleh presiden baru (dalam jangka pendek masa awal jabatannya, 1 atau 2 tahun sesudah dilantik), berarti presiden sebelum tidak punya program jangka panjang.
Begitupun seterusnya silih berganti antara presiden yang satu dengan yang lainnya, semacam mengerjakan sebuah program kolektif berkesinambungan.
Pada prinsip keberlanjutan program tersebut, itulah sebuah konsekuensi posisi atau jabatan seorang pemimpin tidak boleh kosong.
Jadi sudahilah selalu menuding pemimpin sebelumnya, dan itupula makna perlunya ada semacam garis besar haluan negara, agar menjadi kompas politik integritas dan pembangunan berkelanjutan.Â
Ada semacam titik tujuan yang sama oleh dan antar presiden. Jangan saling serang menyerang secara subyektif antar presiden lama dan baru. Rakyat tertawa mengejek, ingat rakyat itu sudah cerdas.
Jangan jadi panutan yang jelek di depan publik, rakyat bisa tertawa ngakak atas ulah kekanak-kanakan para elit politik yang ngawur kalau bicara.
Karena keberhasilan presiden yang berkuasa itu tidak terlepas dari hasil karya presiden sebelumnya. Itu semua tidak bisa dinafikkan.
Jadi menohok presiden berkuasa atau presiden sebelumnya (saling menohok), atau saling membuka aib, itu sama saja menohok diri sendiri alias dongo (Baca: bodoh) atau sama bodohnya.
Marilah berpolitik santun, politik itu suci. Jangan nodai politik itu dengan cara culas, politik menginginkan etika dan profesionalisme. Bila ingin dihargai dan berkharisma. Serta disukai oleh rakyat.
Kalau ada pekerjaan yang ditinggalkan presiden sebelumnya, maka bersyukurlah presiden baru. Bisa perlihatkan kemampuannya untuk memperbaiki atau menyelesaikannya.
Atau jangan sampai program itu masuk program jangka panjang bagi presiden lama, maka presiden yang baru harud lanjutkan tanpa harus memaki pejabat lama.
Walau kita sadari bersama bahwa memang hanya Ir. Soekarno atau Bung Karno yang tidak pernah menyalahkan presiden sebelumnya. Enam presiden sesudah Bung Karno sama saja qualitasnya, saling menohok yang tidak perlu.
Artinya cara pandang atau sikap berpolitik bamgsa Indonesia masih tradisional atau konvensional di era yang serba modern. Seharusnya tidak demikian lagi.
Artinya kita di Indonesia, semuanya masih perlu belajar berpolitik. Kita masih kolot dan bodoh dalam sikapi politik yang sesungguhnya. Seperti politik kampungan alias konvensional pada umumnya
Kenapa kelihatan bodoh berpolitik, karena akibat pemikiran yang kotor atau koruptif. Maka baik birokrasi maupun legislator, sama harus belajar produktifitas agar bisa memahami kelebihan dan kekurangannya.
Bagaimana pendapat Anda?
Jakarta, 29 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H