"Memiliki akal sehat tanpa pendidikan ribuan kali lebih baik daripada berpendidikan tanpa akal sehat"- Robert Green Ingersoll
Tujuan pemerintah melakukan perbaikan dalam dunia pendidikan melalui omnibus law pendidikan nasional sebenarnya sangat bagus dan patut diapresiasi.
Hanya saja para insan pendidikan nasional seluruh Indonesia perlu kiranya mengawal penerbitan peraturan pemerintah (PP) di DPR RI pasca diundangkannya RUU Sisdiknas.
Regulasi Sistim Pendidikan Nasional (Sisdiknas) ini merupakan Omnibus Law Pendidikan Nasional yang pasti beberapa turunan penjabaran RUU Sisdiknas berupa PP, perlu dikawal dan jangan ada celah masuknya kepentingan oligarki di dalam revisi regulasi pendidikan ini.
Ingat bahwa perampokan terdahsyat di dunia ini adalah melalui regulasi atau melalui kebijakan berupa undang-undang. Ini merupakan permainan oknum elit birokrasi dan pengusaha untuk memenuhi target atau syahwat materinya.
Menggabungkan beberapa undang-undang yang terdampak dan digabung jadi satu undang-undang, itulah pengertian omnibus law. Omnibus Law ini sangat bagus, praktis.Â
Tapi juga harus hati-hati, karena mudah pula disisipi/dititip kepentingan tertentu di dalam pasal per pasalnya. Bisa terlihat jelas "barang" titipan itu pada PP atau di Keputusan Menteri sampai ke bawah.
Omnibus Law Pendidikan Nasional yang masih berbentuk rancangan, yaitu RUU Sisdiknas ini akan mengintegrasikan dan/atau mencabut tiga undang-undang terdampak yang terkait pendidikan, yaitu:
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Dalam artikel ini, penulis hanya sedikit membahas kaitan perluasan dan pendanaan wajib belajar, yang benar-benar harus ditelisik.Â
Khususnya ke depan pasca RUU Sisdiknas, untuk melakukan penjabaran yang komprehensif pada penerbitan peraturan pemerintah sekaitan dengan wajib belajar dan pendanaannya, harus jelas. Jangan sampai siswa akan jadi sapi perahan, tanpa disadari.
Perluasan Wajib Belajar
RUU Sisdiknas merubah perluasan atau menambah masa wajib belajar 9 tahun menjadi 13 Tahun, dimulai dari 10 tahun pendidikan dasar (prasekolah dan kelas 1-9) lalu 3 tahun pendidikan menengah.
Penambahan masa atau perluasan wajib belajar ini patut diapresiasi. Terima kasih kepada Presiden Jokowi melalui Mas Menteri Nadiem atas upayanya melakukan langkah taktis tersebut.
Perluasan ke pendidikan menengah dilakukan secara bertahap pada daerah yang kualitas pendidikan dasarnya telah memenuhi standar. Pemerintah pusat akan membantu daerah yang paling membutuhkan. Nah pemerintah daerah harus menangkap peluang ini.
Perluasan masa wajib belajar tentu sangat terkait hal pendanaan. Pada regulasi lama, dikatakan bahwa satuan pendidikan negeri seringkali menghadapi masalah jika ingin masyarakat ingin berkontribusi secara sukarela.Â
Sebenarnya bukan masalah, hanya saja para pengelola pendidikan di tingkat daerah dan pemerintah pusat kurang kreatif menggali dana diluar kantong orang tua siswa.Â
Padahal banyak sumber lain untuk pendanaan pendidikan tanpa harus melibatkan siswa. Hanya butuh kepedulian yang tinggi saja sebagai pelayan rakyat.Â
Jangan hanya taunya instan dengan mengharap pada APBN/D dan kantong orang tua siswa, tapi gali dan gali di luar daripada sumber tersebut.
Sebenarnya ini semua menjadi alasan klise agar tetap terbuka peluang sekolah meminta atau membuat aturan-aturan tersendiri agar ada alasan menerima bantuan dana atau natura dari orang tua siswa.
"Apapun yang dilakukan oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya"- Ki Hadjar Dewantara
Pendanaan Wajib Belajar
Di RUU Sisdiknas ada revisi regulasi yang baru yaitu, Pemerintah mendanai penyelenggaraan wajib belajar. Ya, memang demikianlah makna dan aplikasi wajib belajar.
Satuan pendidikan negeri tidak memungut biaya, namun masyarakat boleh berkontribusi secara sukarela, tanpa paksaan, dan tanpa mengikat. (huruf miring dan warna merah untuk menjadi perhatian, penulis).
Memang di RUU Sisdiknas ada tekanan "Tidak Memungut Biaya"Â namun masih bisa ada celah dengan kalimat sesudahnya yaitu "masyarakat boleh berkontribusi secara sukarela, tanpa paksaan, dan tanpa mengikat."
Di prasa kalimat tersebut sangat terbuka peluang atau ada celah potensi terjadinya permintaan bantuan (dejure sukarela tapi depakto menjadi semacam keharusan tidak tertulis atau potensi menjadi gengsi bila orang tua tidak ikuti).
Semacam aturan internal dari sekolah untuk dijalankan oleh siswa dan/atau calon siswa baru (yang diberlakukan di kalangan sendiri berbasis musyawarah antar orang tua siswa dan pihak sekolah), berbagai modus operandi yang bisa dibuat oleh internal sekolah yang didukung oleh oknum pihak eksternal sekolah.
Misalnya uang bangku, baju, sepatu, buku, atau macam-macam strategi yang dibuat sebagai alasan atau alas "pembenar" yang dibuat oleh sekolah atau oknum guru atau kepala sekolah, agar bisa menerima dana atau natura dari orang tua siswa.
Nah celah korupsi ini harus dicegah pada penjelasan turunan dari UU Sisdiknas nantinya di peraturan pemerintah (PP). Jangan ada celah atau potensi terjadinya pungutan liar (pungli) atau korupsi berbalut program sukarela.
Jadi, pemerintah harus tegas membantu pembiayaan full atensi gratis - wajib belajar -dan jangan ada kesempatan berbuat curang melalui regulasi, termasuk pengadaan baju seragam, sepatu, buku pelajaran dan itu semua menjadi tanggungjawab penuh pemerintah dan pemda, ulangi secara gratis.
Pendidikan dalam konteks belajar mengajar, sama diketahui butuh biaya besar. Namun jangan mengharap, atau tutup sumber dana itu dari orang tua siswa.Â
Artinya manjakan orang tua siswa dari sisi beban pembayaran, biar siswa dan orang tuanya tenang dan anaknya belajar dengan serius serta orang tua ikut aktif, karena malu bila anaknya bodoh di sekolah, karena semua sudah difasilitasi.
Kalau semua sudah digratiskan, juga pemerintah perlu menerapkan sanksi kepada siswa dan/atau orang tua siswa bila lalai melaksanakan program wajib belajar ini.Â
Jadi semacam reward dan punishment kepada siswa dan orang tua atau wali siswa. Sebagai bentuk metode dalam memotivasi dalam menggairahkan semua pihak demi pencapaian pendidikan yang adil dan merata, tanpa ada sekat kaya miskin.
Begitupun pada sekolah dan petugas layanan publik (pendidikan) untuk melakukan atau memberikan pelayanan prima dan meningkatkan prestasinya. Berikan reward dan punishment sesuai dengan mekanisme reformasi birokrasi.
Solusi Pendanaan Alternatif Non SiswaÂ
Solusinya agar sekolah bisa memenuhi pembiayaan (sharing pembiayaan non APBN/D dan orang tua siswa) untuk kelangsungan belajar mengajar, beri ruang penggunaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) di dalam PP atas turunan RUU Sisdiknas.
Beri kesempatan perusahaan-perusahan melalui penggunaan dana CSR, agar bisa masuk untuk perbantuan pendidikan. Untuk menutup semua kemungkinan dalam menarik dana dan/atau natura dari siswa, dan buka bantuan dari sektor hibah dan/atau CSR.
Jadi tidak ada alasan bagi orang tua untuk tidak menyekolahkan anaknya pada masa wajib belajar 13 tahun tersebut, semua harus sekolah.
Maka konsekuensi wajib belajar benar-benar pemerintah memfasilitasi dengan gratis segala kebutuhan sekolah dan sarana prasarana siswa dalam proses belajar mengajar di sekolah.
Itu baru dinyatakan wajib belajar dan wajib difasilitasi oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota, senua bertanggung-jawab. Demi kemajuan pendidikan anak bangsa Indonesia.
Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah. Bagaimana pendapat Anda?
Jakarta, 11 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H