"Sejak dihapuskannya GBHN tahun 2000, diganti dengan visi misi presiden. Ahirnya visi misi kepala daerah tidak lagi terintegrasi secara nasional, sebagai dasar pembangunan berkelanjutan, maka umumnya terjadi tumpang tindih program, masing-masing berjalan tanpa dinikmati masyarakat."
Bisa dibayangkan terjadi kacau balau program pusat-daerah, karena visi misi masing-masing kepala daerah berjalan secara parsial, tanpa ada sinergi secara nasional, antara presiden dan kepala daerah. Ahirnya terjadi tumpang tindih antara keinginan lokal dan kepentingan nasional.
Negara harus punya semacam acuan dasar semacam GBHN untuk menjadi pedoman penerbitan visi misi presiden dan kepala daerah yang dibuat oleh MPR RI. Agar arah pembangunan nasional dan daerah tidak terkesan milik perseorangan, presiden dan kepala daerah.
GBHN yang diterapkan pada masa Orde Baru telah dihapus pada tahun 2000. Seharusnya pola GBHN ini dihidupkan kembali agar bisa dijadikan pedoman dasar bagi presiden dan kepala daerah dalam merancang visi misi dan strategi pembangunan yang disinkronisasi pada kearifan lokal masing-masih daerah.
RPJMN dan RPJP
Sejak itu, pemerintahan menggunakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) sebagai dasar pembangunan. RPJP juga berjalan sendiri dan tidak searah visi misi yang dibuat oleh kepala daerah.
Lalu, bahasa teknisnya dibuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN); RPJP berlaku selama 25 tahun dan RPJMN berlaku lima tahun.
RPJMN tidak terlalu kuat untuk menentukan arah kebijakan pemerintah.
Kalau RPJMN itu kan baru rencana. Bisa berubah-ubah. Tapi kalau haluan kan tidak bisa keluar dari haluan tersebut.
Arah pembangunan nasional sangat penting, sebab dengan adanya Pemilu, baik Pemilu Presiden (Pilpres) maupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sistem pembangunan yang ada harus terintegrasi, antara visi misi Presiden, Gubernur dan Bupati/Walikota.