Yakin "Cinta akan menemukan jalannya." In Syaa Allah. Aamin Yra.
Selamat Hari Anak Nasional (HAN) 23 Juli 2022! Peringatan ini bisa menjadi momentum kepedulian seluruh bangsa terhadap perlindungan anak Indonesia agar tumbuh dan berkembang secara optimal.
Membaca dan "Menyimak Kisah Kompasianer Yunita Mendampingi Anak Berkebutuhan Khusus" di Kompasiana News Jumat (22/7) dan Senin pagi (25/7) membaca artikel Yunita Kristanti, sahabat Kompasianer, "Menyoal Biaya Terapi, Pendidikan ABK yang Mahal", sungguh luar biasa. Apresiasi perjuangan buat Sahabat Kompasianer Yunita Kristanti melalui lembaganya HOPE, atas kepeduliannya terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang perlu kita dukung dalam karya nyata di lapangan.
Baca juga:Â Ini Jenis Anak Berkebutuhan Khusus dan Cara Menanganinya
Tingkatkan Kepedulian
Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus dan pemerintah wajib memfasilitasi atas apa yang dibutuhkan.
Menelusuri dasar--regulasi--normatif dalam mendukung pelaksanaan program dan pendampingan pendidikan inklusif, sudah sangat lengkap untuk dijadikan pedoman untuk mendapatkan pembiayaan yang berkesinambungan.
Terlihat jelas dalam berbagai peraturan perundangan dari pemerintah pusat sampai ke daerah sudah cukup bagus. Tidak ada keraguan bagi stakeholder untuk mendukung pembiayaan dari negara dan sektor swasta untuk ABK.
Hanya sedikit saja ada terputus alias kabur di tingkat kabupaten dan kota, sehingga dalam tataran implementasi pendidikan inklusif masih jauh dari apa yang diharapkan pada tujuan yang tercantum dalam peraturan yang ada.
Benar memang biaya terapi ABK mahal, disanalah ujian bagi kita yang berlebih, agar menyisihkan kelebihan--ilmu, pengalaman dan dana--untuk anak-anak kita yang berkebutuhan khusus, artinya kita harus seriusi dan istimewakan dan melebihi daripada anak normal pada umumnya.
Baca juga:Â Kemendikbud Ajak Daerah Tingkatkan Pendidikan Inklusi
Perda Harus Mendukung ABK
Dalam sistem persekolahan di Indonesia secara umum cenderung menerapkan layanan pembelajaran melalui bentuk belajar klasikal yang kurang memberikan ruang gerak belajar bagi ABK.
Begitupula anak normal lain, bisa jadi risih atau orang tua mereka yang tidak ingin dalam satu ruang anaknya yang normal.Â