"Dalam isu ramah lingkungan, rakyat dan/atau konsumen selalu jadi pesakitan, disalahkan dan dirugikan, bahkan dianggap tidak peduli terhadap bumi. Isu ini menyorot plastik dan masih terus diangkat untuk dijadikan pengalihan isu atas kebijakan kantong plastik berbayar yang ingin ditutupi masalahnya oleh oknum penguasa dan pengusaha sejak 2016 sampai sekarang" H. Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya.
Dalam UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), khususnya Pasal 15 bahwa industri produk berkemasan yang harus bertanggungjawab untuk ikut menarik kembali kemasannya (segala jenis kemasan) melalui pola Extanded Producer Responsibility (EPR) yang menjadi sampah dan bukan hanya menyorot kantong plastik, tapi semua jenis kemasan. Kantong plastik bagian terkecil dari sampah plastik yang ada. Sementara sampah plastik yang tergolong sampah anorganik merupakan sampah terkecil dari sampah organik yang dominan di Indonesia.
Kantong plastik bukan pula merupakan kemasan yang langsung menjadi sampah setelah dipergunakan atau isi produk dari kemasan itu terpakai. Tapi kantong plastik adalah wadah (tempat alat atau produk secara umum) dan bukan kemasan, berarti masih bisa dipakai berulang, dapat diguna ulang dan bahkan berfungsi sebagai wadah sampah di rumah maupun di tempat lainnya sebagai alat bantu pelapis di tempat sampah serta mudah di daur ulang, mempunyai nilai ekonomi.
Berdasar fenomena kegunaan plastik antara fungsi sebagai wadah dan fungsi sebagai kemasan itu tidak bisa digeneralisir dalam karakteeistik yang sama, baik untuk atau bisa diguna ulang (wadah) maupun untuk di daur ulang (kemasan) dalam mencegah atau mengurangi sampah.
Baca Juga:Â 100% Kantong Plastik Berbayar Pemicu Darurat Sampah di Indonesia
Fungsi plastik sebagai wadah produk atau barang dagangan maupun fungsi sebagai kemasan produk, dalam memenuhi standar pengelolaan sampah yang benar, keduanya bisa dikurangi atau terjadi pengurangan sampah dengan cara redesain, lagi-lagi bukan dilarang pakai pada kantong atau kemasan Plastik Sekali Pakai (PSP) untuk mengurangi sampah, tapi ex-produk (sampah) itu di kelola sesuai amanat UUPS, agar bisa berdaya guna selain fungsi utamanya tersebut sebagai wadah barang/produk.
Seharusnya produk sebagai wadah ataupun kemasan berbahan plastik bukan menjadi masalah yang perlu dibesar-besarkan bertahun-tahun oleh pemerintah pusat dan daerah. Seakan PSP itu tidak punya solusi, sehingga menjadi momok bagi semua pihak. Solusi sampah (jenis apapun) aturannya sudah sangat jelas dalam UUPS, yaitu sampahnya di kelola dan bukan dengan cara melarang penggunaannya, itu cara yang tidak manusiawi karena terjadi pembohongan publik dengan alasan ramah lingkungan.
Malah ahir-ahir ini muncul lagi protes kepada perusahaan yang memproduksi produk berkemasan sachet (terahir yang disorot adalah produk sachet PT. Unilever Indonesia), ini semua akibat isu ramah lingkungan yang di salah artikan yang berpotensi terjadi persaingan bisnis (pengalihan isu) dan bisa menimbulkan komplik horizontal. Karena seakan publik diajak berpikir kebelakang, menolak kemajuan peradaban.
Padahal produk sachet itu merupakan kreasi produsen untuk menjangkau konsumennya, di Indonesia produk sachet tidak terhindarkan karena daya beli masyarakat yang rendah, jangan samakan luar negeri yang kemasan produknya minim sachet. Penggunaan produk sachet di Indonesia umumnya dipakai oleh masyarakat kelas menengah-bawah.
Baca Juga:Â Negara Kalah dan Rakyat Menderita dalam Urusan Sampah