Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

"Human Error Birokrasi" Penyebab Darurat Sampah Indonesia

21 Juni 2022   22:39 Diperbarui: 21 Juni 2022   22:45 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SE KPB oleh KLHK tahun 2016 menjadi dasar menjual Kantong Plastik sampai sekarang, dokpri

"Masa kini bukan lagi era fordisme, konsumen membeli apa yang diproduksi oleh industri atau produsen barang/jasa. Pengusaha atau pabrik mengintervensi penuh apa yang menjadi pikiran publik. Namun, sekarang situasi sudah sama sekali berubah masuk era postisme yaitu pengusaha yang harus menuruti apa yang diinginkan oleh konsumen." H. Asrul Hoesein, Founder Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) Indonesia.

Empat belas tahun lewat, regulasi sampah berupa UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) telah terbit di masa SBY-JK. Sampai sekarang 2022 di masa Jokowi-Ma'ruf, belum dijalankan oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dengan baik dan benar atas pasal-pasal yang menjadi substansi pokok pengelolaan sampah yang dimandatkan.

Sejak Pemerintah cq: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) melalui beberapa kali mengeluarkan Surat Edaran (SE) Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3).

SE pertama dimulai SE Dirjen PSLB3 tertanggal 15 Desember 2015, dan launching program KPB tanggal 21 Februari 2016 berdasar SE kedua tertanggal 17 Februari 2016, terus menuai pro-kontra solusi antar stakeholder. Khususnya penulis protes keras sejak dulu sampai sekarang. Karena seakan pemerintah sebagai regulator dan fasilitator tidak hadir dalam urusan sampah dan terlebih hal KPB-KPTG dibiarkan merugikan rakyat.

Baca Juga: KPB-KPTG Biang Kerok Indonesia Darurat Sampah

Keadaan pengelolaan sampah semakin kelam dan berpotensi menghasilkan resistensi atau komplik horizontal dan belum menemukan jati dirinya dalam sebuah sistem yang bersolusi UUPS, malah semakin kacau saja. Kekacauan yang diduga disengaja oleh oknum elit pemerintah, pemda dan pengusaha. 

Khususnya KLHK hanya ingin menerima pendapat yang sesuai keinginan pribadi subyektif elitnya saja, bukan berdasar aturan obyektifitas dalam UUPS. Kalau bukan kelompoknya, ruang diskusi tertutup, alergi kritik. Itulah sebabnya sehingga Indonesia masih darurat sampah, karena bukan obyektifitas yang terjadi, human error birokrasi.

Karena kacaunya, sehingga terdengar dan terlihat oleh Parlemen Senayan Jakarta. DPD RI pada tahun 2020 berinisiatif untuk melakukan revisi, namun penulis memberi advis saat diundang menjadi narasumber untuk tidak merevisi UUPS dan merekomendasi DPD RI dan DPR RI serta Presiden Jokowi untuk terbitkan peraturan pemerintah untuk menjalankan Pasal 16 dan 21 UUPS tersebut. Pasal inilah yang menjadi sumber pendanaan pengelolaan sampah yang dibayar oleh konsumen (baca: rakyat).

Baca Juga: Gubernur Jakarta dan Bali Keliru Sikapi Sampah Plastik

Rencana revisi UUPS kembali digaungkan oleh DPR RI, pada 13 Juni 2022 Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bermaksud melakukan peninjauan dan revisi atas UUPS tersebut, Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Baleg DPR RI telah mendengar paparan para narasumber pada RDPU pertama dan RDPU kedua pada tanggal 16 Juni 2022.

Namun nampak kurang greget dan berenergi diskusi di Baleg DPR RI selama dua kali RDPU tersebut (13 dan 16/6/2022), karena beberapa narasumber (tidak semua seh) dari berbagai unsur diluar DPR RI, yang diduga paham sengkarut sampah ini tapi sepertinya lalai menyampaikan masalah pokok yang menyebabkan Indonesia dalam kondisi darurat sampah.

Seharusnya bicara apa adanya, disinilah dibutuhkan negarawan yang bicara jujur di parlemen demi kemasyalahatan bangsa dan negara atau keberpihakan pada rakyat perlu ditunjukkan. Diduga melindungi oknum KLHK sebagai leading sector persampahan agar tidak kelihatan bermasalah dalam menjalankan UUPS. Memang susah menjadi narasumber independen bila masih ada kepentingan yang sifatnya subyektif, pasti pincang dalam paparannya.

Baca Juga: Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia

SE KPB oleh KLHK tahun 2016 menjadi dasar menjual Kantong Plastik sampai sekarang, dokpri
SE KPB oleh KLHK tahun 2016 menjadi dasar menjual Kantong Plastik sampai sekarang, dokpri

KPB-KPTG Biangkerok Masalah

Persoalan sampah yang berkepanjangan (14 tahun pasca UUPS) di Indonesia sesungguhnya lebih disebabkan pada strategi oknum elit KLHK yang ingin tetap menyembunyikan masalah KPB-KPTG yang diduga keras terjadi Pungutan Liar (Pungli) dan/atau Gratifikasi sejak tahun 2016 sampai 2022

Sejak 2016, penulis dengan keras mengoreksi dan sekaligus memberi solusi atas masalah KPB-KPTG ini pada PSLB3 KLHK, tapi oknum pejabat PSLB3 KLHK mengabaikannya. Menurut temuan penulis bahwa KPB-KPTG inilah yang menjadi pemantik semua isu masalah persampahan sejak 2016 tersebut. 

Diduga terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) oleh Dirjen PSLB3 KLHK, maka KPB-KPTG ini yang diduga keras telah terjadi unsur gratifikasi (korupsi) dalam pelaksanaannya dan sangat merugikan konsumen dan diduga berpotensi memperkaya pihak ritel atau pedagang pasar modern sebagai pelaksana kebijakan di seluruh Indonesia.

Baca Juga: Kebijakan Prematur Pergub Jakarta Larangan Kantong Plastik

Persoalan Sampah di Indonesia memang sulit cepat teratasi karena terjadi human error birokrasi, sangat jelas pemerintah cq: KLHK sebagai leading sektor persampahan dan termasuk Kementerian Kordinator Maritim dan Investasi sebagai Kordinator Nasional atas Perpres No. 97 Tahun 2017 Tentang Kebijakan dan Strategi Nasional   (Jaktranas Sampah) Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, juga sepertinya ikut membiarkan masalah KPB-KPTG ini. (Baca: KPB-KPTG Biang Kerok Indonesia Darurat Sampah).

Pihak aparat hukum (APH) atau Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polisi dan Jaksa harus segera melakukan lidik/sidik atas masalah dugaan gurita korupsi sampah di seluruh Indonesia.

Sejak 2016 pasca KPB-KPTG muncul kebijakan pelarangan penggunaan Kantong Plastik, dengan isu ramah lingkungan ramai digelorakan di seluruh Indonesia. Bahwa plastik susah terurai oleh tanah/bumi atau nanti terurai sekitar 500 tahun. 

Paradigma berpikir inilah yang dibolak balik sehingga merusak otak sebagian besar anak bangsa dan rakyat Indonesia. Malah beberapa gubernur, bupati dan walikota ikut terbius "kebodohan" mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan kantong plastik atau Plastik Sekali Pakai (PSP). Namun lucunya, KLHK tetap membiarkan penjualan kantong plastik di toko ritel, kontra produktif.

Baca Juga: Biaya Sampah Bukan dari APBN/D dan Retribusi, Tapi dari EPR dan CSR

Isu plastik inilah yang dibesar-besarkan, sehingga muncul kebijakan Gubernur Bali yang disusul Gubernur Jakarta serta puluhan walikota dan bupati ikut mengeluarkan kebijakan untuk melarang penggunaan Kantong Plastik atau PSP.

Kampanye penggunaan Tumbler terus digaungkan oleh oknum pejabat KLHK dan lintas K/L lainnya tanpa rasa malu berbuat dalam kebodohan sikap, sangat bodoh mempertontonkan sikap "gagal paham" dan malah dikampanyekan oleh beberapa menteri. 

Juga terjadi pelarangan penggunaan sedotan plastik, muncul kantong plastik ramah lingkungan, termasuk melarang penggunaan PS-Foam. Jelas semua itu dijadikan sebagai "perang bisnis" dibalik masalah KPB-KPTG. Juga tiba-tiba muncul wacana Cukai Kantong Plastik, mengenakan PPn terhadap produksi daur ulang. Segala macam akal bulus oleh oknum penguasa dan pengusaha. Untungnya apa? KPB-KPTG ikut berselimut dalam isu-isu taktis ramah lingkungan.

Penulis saat memberi penjelasan di DPD RI Senayan hal revisi UU. Sampah. Sumber: DPD RI
Penulis saat memberi penjelasan di DPD RI Senayan hal revisi UU. Sampah. Sumber: DPD RI

Baca Juga: Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR

Artinya gonjang ganjing isu ramah lingkungan ini, seakan dimanfaatkan untuk melindungi terbongkarnya dugaan gratifikasi KPB-KPTG oleh oknum elit KLHK, sekaligus dimanfaatkan sebagian oknum pengusaha dan asosiasi untuk menumpang "bisnis" dibalik masalah isu ramah lingkungan tersebut yang bermuatan KPB-KPTG, APH harus masuk dalam gurita ini.

Dewan Pengarah Sampah Nasional

Medio 2016, Menteri LHK Dr. Siti Nurbays Bakar, dengan seriusnya ingin menyelesaikan sampah dengan membentuk Dewan Pengarah Sampah Nasional yang beranggotakan lintas stakeholder. Namun ahirnya mati suri setelah beberapa bulan saja hidup yang hanya melakukan rapat-rapat internal tanpa ada solusi, glamor tapi minus kecerdasan sikap kenegarawanan.

Sebaiknya Menteri LHK segera bubarkan Dewan Pengarah Sampah Nasional itu yang tidak ada gunanya, malah berpotensi menggerus dana rakyat melalui APBN, tentu untuk honorarium dan biaya-biaya rapat para pengurusnya.

Baca Juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia

Sangat jelas diduga bahwa Dewan Pengarah Sampah Nasional, hanya ingin menjegal penulis dalam mengoreksi KPB-KPTG. Padahal penulis saat itu bersamaan memasukkan solusi KPB-KPTG atas permintaan PSLB3 KLHK sendiri, seharusnya solusi itu dibahas oleh Dewan Pengarah Sampah Nasional, tapi ini diabaikan. Padahal penulis minta di hadirkan dalam rapat dewan tersebut.

Karena ditolaknya permintaan penulis untuk pertanggungjawabkan solusi sampah dan solusi KPB-KPTG  di rapat dewan sampah tersebut, maka penulis sangat yakin bahwa dewan itu memang bukan unruk mencari solusi sampah, hanya ingin mematahkan solusi dari penulis, Subahanallah. Allahu Akbar, Tuhan Ymk Maha Tahu. 

Bagaimana mungkin Dewan Pengarah Sampah Nasional itu yang dipimpin mantan Menteri Negara LH (Nabiel Makarim) bisa berbuat untuk menyelesaikan masalah sampah, kalau memang niat berdirinya bukan karena meluruskan UUPS, tapi sangat diduga hanya untuk membuat benteng berlindung atas masalah KPB-KPTG oleh oknum LHK yang diduga ada dalam lingkaran masalah, APH mohon dibuktikan dugaan penulis ini, bahwa terjadi human error birokrasi dalam urusan sampah.

Larangan Kemasan Sachet

Tahun 2022 muncul lagi demo pelarangan penggunaan kemasan sachet. Dimana semua pelarangan itu sepertinya di dukung oleh lintas pihak untuk mendesak perusahaan industri (PT. Unilever Indonesia, dan industri lainnya) untuk menghentikan produksinya yang berbentuk kemasan sachet.

Padahal penggunaan kemasan sachet itu mutlak di Indonesia, merupakan daya kreatifitas perusahaan produsen untuk menjangkau pasarnya, ini kekeliruan para penolak kemasan sachet. Tidak memahami kondisi kemampuan daya beli yang rendah oleh rakyat Indonesia.

Baca Juga: EPR Dana Pengelolaan Sampah Dibayar Rakyat, Jangan Korupsi!

Masa kini bukan lagi era fordisme, konsumen membeli apa yang diproduksi oleh pabrik atau produsen. Kapital atau pengusaha mengintervensi penuh apa yang menjadi pikiran publik. Namun sekarang, situasi sudah sama sekali berubah atau postisme. Produsen harus menuruti apa yang diinginkan oleh konsumen, pertimbangan daya beli dan lain sebagainya.

Maka kebutuhan kemasan sachet tidak bisa dihindari, sebuah keniscayaan. Soal sampahnya itu bukan masalah, jalankan saja Pasal 12,13,14,15,16,21,44 dan 45 UUPS. Karena tinggal menjalankan UUPS saja dengan jujur dan adil artinya jalankan secara terstruktur, sistematis dan masif. Maka dengan sendirinya sampah akan selesai dan teratasi secara win-win solusi.

Baca Juga: Tahun 2022, Deadline Penerapan Tanggung Jawab Produsen Sampah

Karena perlu disadari, pengurangan timbulan sampah bukan akibat karena melarang penggunaan plastik, itu malah merugikan. Artinya sampah eks produk kemasan tersebut harus dikelola sesuai amanat UUPS. Hal pendanaan sampah, segera jalankan Pasal 16 UUPS dengan melibatkan lintas stakeholder, bukan hanya KLHK, ingat Jaktranas Sampah.

Warning, kalau melarang penggunaan produk itu sangat keliru, dampaknya industri tidak bergerak. Berakibat pada minimnya pemasukan pajak dan berpotensi terjadi pemutusan hubungan kerja, tercipta pengangguran. Juga akan merugikan konsumen dan rakyat secara umum, termasuk akan menghambat pertumbuhan industri dan investasi.

Jakarta, 21 Juni 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun