Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Biaya Sampah Bukan dari APBN/D dan Retribusi, Tapi dari EPR dan CSR

20 Juni 2022   11:03 Diperbarui: 20 Juni 2022   11:09 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tidaklah adil bila dana pengelolaan sampah diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Daerah (APBN/D), karena sesusungguhnya dana utama pengelolaan sampah telah dan akan dibayar oleh konsumen melalui mekanisme Extanded Producer Responsibility (EPR). Artinya, masyarakat akan bayar doubel tiga kali bila ditarik juga dari APBN/D dan Retribusi." H. Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya.

Sepertinya DPR RI sudah gerah mengamati dan menyaksikan pengelolaan sampah di Indonesia belum beres-beres, maka Badan Legislasi (Baleg) DPR RI bermaksud melakukan peninjauan dan revisi UU. No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), setelah sebelumnya DPD RI telah melakukan hal yang sama di tahun 2020.

Kegagalan pengelolaan sampah di Indonesia bukan karena regulasi sampah yang bermasalah atau midset masyarakat yang keliru alias bodoh, tapi karena masalah non teknis alias human error oknum pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) yang salah urus sampah, belum atau tidak melaksanakan regulasi sampah sesuai yang diamanatkannya. Khususnya, lalai menerbitkan PP. EPR sesuai mandatory UUPS.

Sebenarnya DPD RI, dua tahun lalu (2019) bermaksud melakukan usulan revisi UUPS ke DPR RI. Penulis sempat di undang sebagai narasumber dalam rencana tersebut, di Gedung MPR/DPR/DPD RI Senayan Jakarta (22/1/20), Baca beritanya di Pengelolaan Sampah Masih Buruk dalam 100 Hari Jokowi Maruf.

Baca Juga: Apa Kabar Usia 12 Tahun UU Sampah

Penulis telah menyampaikan pada Pleno RDPU di DPD RI, bahwa tidak dibutuhkan revisi UUPS, hanya saja perlu penegakan aturan UUPS lebih disiplin, pertegas regulator, fasilitator dan operator serta lebih penting lagi adalah segera DPD RI mendorong DPR RI dan Presiden Jokowi, agar terbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Extanded Producer Responsibility (EPR), sebagaimana mandat atau perintah Pasal 16 UUPS.

EPR merupakan Corporate Social Responsibility (CSR) yang diperluas. Dimana EPR merupakan dana sampah ex-kemasan produk yang dibayar oleh konsumen (masyarakat) melalui sistem penyatuan nilai EPR dalam mekanisme harga produk, artinya biaya pengelolaan sampah telah dan akan dibayar oleh konsumen (baca: rakyat). Kebijakan dari EPR ini harus tertuang dalam sebuah peraturan pemerintah, sebagaimana amanat dari UUPS, bukan dalam bentuk peraturan menteri.

Baca Juga: Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR

Ilustrasi: EPR dan Insentif pengelola sampah butuh kebijakan berupa Peraturan Pemerintah (PP). Sumber: Dokpri
Ilustrasi: EPR dan Insentif pengelola sampah butuh kebijakan berupa Peraturan Pemerintah (PP). Sumber: Dokpri

Babak Baru UUPS, Perlukah di Revisi?

Baleg DPR RI telah mulai melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan mendengarkan penjelasan dari beberapa narasumber pada tanggal 13 dan 16 Juni 2022 dan di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta. 

Jelas pembahasan di Baleg DPR RI ini akan alot kedepannya, mengingat substansi masalah belum tergali, baik oleh narsum maupun dari anggota Baleg DPR RI. Yaitu banyaknya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian LHK dan lintas kementerian dan lembaga lainnya yang mis UUPS. Seperti Kebijakan Kantong Plastik Berbayar atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPB-KPTG) yang menyimpan banyak misteri.

Beberapa narasumber yang telah dihadirkan oleh Baleg DPR RI dan yang disiarkan Live di Youtube dan Face Book Baleg DPR RI, dari berbagai institusi, perguruan tinggi, pengusaha dan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Ikuti di Sini dan Sini.

Hampir semua narasumber menyoroti kinerja pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dalam soal tidak adanya penegakan hukum yang tegas dalam pengelolaan sampah dan juga menyoroti seluruh Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Indonesia yang full masih open dumping. Termasuk belum jelasnya pembagian kerja sebagai regulator dan operator, masih simpang siur antara pemerintah, pemda, swasta, asosiasi, LSM dan masyarakat.

Namun yang menjadi sorotan utama dari seluruh narasumber adalah minimnya pos pendanaan dari APBN/D dalam pengelolaan sampah. Hal tersebut yang dianggap paling utama menghambat dalam pengelolaan sampah, sehingga Indonesia masih terjadi darurat sampah. Walau UUPS sudah berusia 14 tahun. Usia manula bagi sebuah regulasi yang tidak dijalankan dengan benar, karena adanya persilangan kepentingan antar pihak.

Baca Juga: EPR Dana Pengelolaan Sampah Dibayar Rakyat, Jangan Korupsi!

Begitu juga tanggapan  Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Firman Soebagyo dari Fraksi Golkar yang mendukung revisi UUPS. Dirinya menilai bahwa UU tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi pengelolaan sampah yang dibutuhkan Indonesia terkini.

Sehingga, Firman mengatakan tidak adil jika negara yang menanggung sepenuhnya pengelolaan sampah di Indonesia, padahal sumber sampah berasal dari berbagai individu, kelompok, bahkan industri. Tidak hanya itu, ia menegaskan TPA Sampah juga bukan pamungkas dalam tata kelola sampah.

Menurut penulis, sayang sekali para narasumber dan penanggap dari anggota Baleg DPR RI, kurang memahami dan menanggapi "sumber utama pembiayaan sampah dari EPR" sesuai mandat Pasal 16 UUPS yang menjadi pokok masalah pendanaan, sehingga semua tidak menemukan diskusi solusi dari sumber pendanaan yang telah dituangkan dalam UUPS. 

Harusnya para narsum thick line (garis tebal) tentang kealfaan pemerintah menerbitkan PP EPR tersebut, minimal mengingatkan anggota Baleg DPR RI yang mungkin kurang dipahami oleh mereka.

Baca Juga: Tahun 2022, Deadline Penerapan Tanggung Jawab Produsen Sampah

"Harus jujur bicara apa adanya tentang tanggung jawab produsen melalui mekanisme EPR tersebut yang seharusnya sudah berlaku tahun 2022, setelah di tunda oleh Meneg LH Prof. Kambuaya selama 10 tahun sejak 2012." Asrul Hoesein, Founder PKPS Indonesia.

Dimana Pasal 16 UUPS tersebut, mengisyaratkan (mandatory) UUPS kepada pemerintah (DPR dan Presiden) untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Extanded Produsen Responsibility (PP-EPR). PP EPR untuk mengaplikasi Pasal 13,14 dan 15 UUPS. 

Sementara Pemerintah sampai saat ini belum menerbitkan PP-EPR, malah terjadi keganjilan dimana Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah menerbitkan Peraturan Menteri LHK No. P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Dimana Permen LHK P.75 tersebut dimaksudkan untuk jadi pedoman pelaksanaan EPR. Sangat jelas Permen LHK ini keliru besar dan melabrak UU diatasnya, yaitu Pasal 16 UUPS, sehingga harus dibatalkan demi hukum.

Baca Juga: Pegiat Lingkungan Minta Informasi Peta Jalan Pengurangan Sampah Plastik Dibuka ke Publik

Permen LHK P.75 tersebut sama saja Peta Buta, karena pelaksanaan EPR bukan langsung meminta peta jalan rencana produsen dalam pengurangan sampahnya. Tapi harus dibuatkan sistem pelaksanaan terlebih dahulu, sebelumnya memberi nilai ekonomi atas produk kemasan tersebut (sesuai amanat Pasal 14 UUPS) dengan pedoman pelaksanaanya pada Pasal 16 UUPS. 

Nilai ekonomi dari ex produk kemasan yang menjadi sampah mutlak ditentukan kategori teknis (LDU/BDU) dan nilai EPRnya masing-masing untuk dijadikan pedoman penarikan dana EPR.

Juga sebelumnya harus ada sistem pengelolaan EPR di perusahaan dan masyarakat yang tegas (sesuai amanat Pasal 13 UUPS) dan semuanya ini melibatkan lintas menteri dan stakeholder lainnya dalam menentukan Pasal 14 UUPS, untuk mengarur siapa yang berbuat apa dan siapa dapat apa. 

Hal tersebut perlu ada lembaga khusus yang mengatur mekanisme EPR, atau bisa jadi melalui pembentukan sebuah direktorat pada Kementerian Keuangan atau Kementerian Dalam Negeri.

Begitu juga para narsum kurang atau tidak menyoroti dengan tegas substansi Pasal 12, 13 dan 45 UUPS, atas kewajiban pemerintah sebagai fasilitator dalam mengaplikasi pasal-pasal tersebut untuk pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang bisa mendapatkan pembiayaan dari program Corporate Sosial Responsibility (CSR), semuanya hanya fokus pada dana yang bersumber dari APBN/D. Ahirnya diskusi solusi tidak menarik, ujungnya Baleg DPR RI dan tenaga ahli para anggota DPR RI bisa stres menemukan solusinya.

Baca Juga: SNI Satgas Nawacita Indonesia: Perubahan Paradigma Kelola Sampah Melalui EPR

Juga tidak tersorot khususnya pelaksanaan Pasal 45 UUPS dimana pada pasal tersebut dinyatakan bahwa pemilik atau pengelola kawasan wajib melakukan pengelolaan sampah di kawasannya, artinya Pemerintah dan Pemda tidak perlu keluarkan biaya untuk pengelolaan sampah kawasan.

Hanya saja pelaksanaan pasal-pasal tersebut, juga pemda perlu menyiapkan TPA Control Landfill dan Sanitary Landfill untuk antisipasi residu dan LB3 berat dari kawasan yang tidak bisa dikelolanya, ini juga sesuai amanat Pasal 44 UUPS.

Maka berdasar pada pasal-pasal tersebut diatas, dapat dipastikan bahwa biaya utama pengelolaan sampah bukan berasal dari APBN/D, kecuali pembangunan TPA Control Landfill dan Sanitari Landfill sebagaimana amanat Pasal 44 UUPS.

Sekedar cacatan penting untuk Baleg DPR RI, bahwa dana utama dari pengelolaan sampah di Indonesia itu bersumber dari EPR dan CSR serta sumber dana swadana atas kewajiban pemilik kawasan komersil, perkantoran, pertokoan, hotel, restoran dan lainnya. Bila UUPS tetap akan di revisi, maka perlu ada penguatan pelaksanaan atas sistem dan penggunaan EPR dan CSR serta insentif bagi pengelola sampah dari hulu-hilir.

Baca Juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia

Penegasan Peraturan Desa

Juga tidak kalah pentingnya dalam revisi UUPS tersebut, perlu dimasukkan satu bab atau beberapa pasal tentang dasar Pemerintah Desa dan Kelurahan serta Badan Musyawarah Desa (BPD), untuk menerbitkan Peraturan Desa (Perdes). Sebagai landasan pengelolaan sampah di garda terdepan bersama stakeholder pengelola sampah dan termasuk dari pihak perusahaan industri berkemasan, non kemasan dan industri daur ulang.

Fakta, selama ini hampir seluruh pemda di 514 kabupaten dan kota, tidak mampu mengantisipasi sampah, sampai ke wilayah perdesaan. Ahirnya banyak ditemukan pelanggaran yang terpaksa dilakukan oleh kepala desa dalam mengelola sampahnya di desa. Ahirnya tercecer ke sungai lalu berahir ke laut.

Hanya sekitar dalam wilayah ibukota kabupaten dan kota yang mampu diatasi oleh pemda, itupun tetap di timbun sebagian di TPA dan juga banyak berceceran di bantaran sungai. Maka potensi pelanggaran dan tercecernya sampah ke bumi sangat rawan dan bermasalah.

Hal kegagalan pengelolaan sampah tersebut juga didasari karena Permendagri No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah, telah dicabut pada bulan April 2016 oleh Menteri Dalam Negeri. Padahal Permendagri 33/2010 tersebut sangat penting sebagai pedoman bagi seluruh stakeholder sampah.

Maka mengantisipasinya, pemerintah desa dan kelurahan perlu diberi kekuatan, demi keleluasaan berkreasi bersama stakeholder (pengelola sampah dan perusahaan) dalam mengelola sampahnya sehingga dapat berdaya guna menjadi sumber daya, baik sosial, budaya maupun ekonomi serta yang utama bebas dan mencegah dari pelanggaran hukum.

Sebenarnya tanpa revisi UUPS juga perdes bisa diterbitkan, sebagaimana yang telah kami di Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo) Surabaya lakukan dalam pendampingan di pemerintah desa dan pemda seluruh Indonesia. 

Tapi demi ketenangan para kepala desa dan kelurahan serta para perusahaan yang akan ikut bertanggungjawab melalui CSR dan EPR serta bantuan investasi lainnya, sebaiknya dimasukkan dalam pasal perubahan, bila memang UUPS kelak di revisi.

Namun yang pasti, 49 Pasal dari UUPS, tidak ada satu pasalpun yang memberi amanat atau memerintahkan sampah di angkut dari rumah tangga atau sumber timbulan sampah ke Tempat Penampungan sampah Sementara (TPS) terlebih tidak untuk di angkut ke Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA), paradigma itu yang harus dipahami bersama, agar kita mampu menemukan solusi sampah yang komprehensif.

Jakarta, 20 Juni 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun