Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Indonesia Minim Calon Presiden, Kenapa?

18 Juni 2022   19:51 Diperbarui: 19 Juni 2022   05:30 1381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilihan suara calon presiden. Sumber: Kompas.com/Handining

"Seharusnya cabut ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden atau Presidential Threshold (PT) menjadi nol persen, biar para calon bermunculan dan juga tidak mengebiri hak pemilih."  H. Asrul Hoesein, Founder GiF Jakarta.

Dalam kalkulasi politik stratejik, dua tahun menjelang pemilihan umum (Pemilu) dan/atau khususnya Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung adalah pergerakan yang masuk kategori ideal.

Sebut misalnya, pemilihan kepala daerah (pilkada) untuk pemilihan gubernur (pilgub) butuh waktu satu tahun, sementara Pilkada bupati atau walikota setidaknya butuh waktu penyesuaian parpol dan sosialisasi sekitar enam bulan, itupun tanpa melewati kaderisasi di partai politik (parpol).

Kembali ke Pilres, maka tidak perlu kaget bila tahun 2022 ini, para politikus sudah mulai bergerak maju mundur alias kasak-kusuk kesana kemari mencari partner atau teman koalisi dalam mencapai syarat pencapresan. Termasuk beberapa elit tanpa parpolpun berani tampil, demi mengejar masuk dalam lingkaran survey, untuk dilirik parpol.

Malah sudah tampil beberapa kader parpol berani melakukan sosialisasi sampai kepada pembentukan tim sukses di daerah-daerah seluruh Indonesia. Sebagaimana pantauan penulis secara tidak langsung di berbagai kota sampai ke pelosok desa di Indonesia.

Namun yang menjadi pertanyaan, kenapa yang muncul calon presiden serta sutradaranya yang itu-itu saja. Ada Megawati (Ketum PDIP), Surya Paloh (Ketum NasDem), ada juga sudah berkoalisi misalnya Koalisi Indonesia Bersatu (Partai Golkar, PAN, PPP) dan tentu Presiden Jokowi sendiri juga tak lepas dari pengaruh besar sebagai "sutradara" pencapresan 2024.

Sekiranya Prabowo Subianto (Ketum Partai Gerindra) tidak masuk (terikat) di pemerintahan Jokowi-Ma'ruf sebagai menteri dan bertahan sebagai oposisi, maka akan menjadi sutradara bersama Megawati dan Surya Paloh.

Kalaupun Prabowo Subianto tidak menjadi sutradara, karena bisa jadi akan menjadi pemain (baca: Bacapres). Kemungkinan besar Prabowo Subianto berusaha keras mendekati Megawati, untuk berpasangan dengan Puan Maharani, barang ini bisa jadi bila Presiden Jokowi ikut merestui.

Maka dari kondisi tersebut, disinilah terbaca kehebatan Presiden Jokowi dengan pemandu Megawati dan Surya Paloh untuk menguasai irama Pilpres 2024. Tapi walaupun demikian peran seorang Prabowo Subianto juga tidak bisa dinafikkan begitu saja, karena masih punya basis massa dan partai yang besar pengaruhnya.

Sosialisasi Tim Ganjar Pranowo Milenial Center di Sibolga, Sumatera Utara, Sumber: Dokpri
Sosialisasi Tim Ganjar Pranowo Milenial Center di Sibolga, Sumatera Utara, Sumber: Dokpri

Perlu Revisi UU. Pemilu dan Parpol

Pasal 222 UU. Pemilu berbunyi, "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya".

Secara perolehan suara sah nasional pada Pemilu 2019, Golkar memperoleh 12,31 persen, PAN 6,84 persen dan PPP 4,52 persen. Total, perolehan suara sah nasional koalisi mencapai 23,67 persen.

Sangat susah menemukan pemimpin atau partai politik yang berani mengajukan figur-figur pembaharu sebagai presiden dan wakil presiden. Pintu-pintu para capres terkunci, walau ada kader yang mumpuni. Bila sutradara merasa tidak cocok dengan selera koalisi dan kepentingannya, ya mundur saja. Walau punya integritas atau prestasi sebagai leader

Nampak sepertinya Indonesia ini sudah terkotak-kotak alias tertutup atau terkunci, masyarakat hanya jadi penggembira pesta demokrasi lima tahunan itu. Hasil survey bacapres tidak cukup signifikan, paling banyak lima figur dan itu-itu saja. Sungguh susah menemukan calon presiden yang bisa muncul secara alami (kader) yang belajar politik dan dilahirkan oleh parpol itu sendiri.

Karena parpol saat ini memang minim pengkaderan dan memaksakan koalisi karena adanya ambang batas 20% yang susah diikuti, satu parpol saja, PDIP. Tapi apakah Presiden Jokowi masih konsisten berada di pilihan Megawati sebagai pemain kunci di pemerintahan Jokowi pada dua periode. Kalau Presiden Jokowi ikuti "rasa", dipastikan akan mendukung pilihan Megawati.

Kenapa rasa? Jokowi masuk sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Presiden dua periode, serta Gibran Walikota di Solo (menggeser kader senior PDIP di Solo) dan Bobby Nasution Walikota di Medan, semua diusung oleh PDIP yang tentu Megawati sangat berperan di dalamnya, termasuk Prabowo Subianto. Tapi sepertinya dalam politik, rasa nomor seratus.

Jika ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau Presidential Threshold (PT) menjadi 0 persen maka ada dua pihak yang paling dirugikan. Mereka yakni pihak Istana dan PDIP sebagai partai politik pemenang pemilu.

Istana diprediksi pada Pemilu 2024 khususnya Pilpres akan menjadi King Maker. Jika ambang batas dihapus juga tidak punya pengaruh bagi PDIP. Namun ambang batas capres banyak yang gugat, karena dianggap memanipulasi hak rakyat sebagai pemilih.

Apa Kabar Kader Parpol?

Minus kader, sebuah fakta sejarah. Semalam (17 Juni 2022), Kongres Partai NasDem mengusung capres tiga orang di luar kadernya. Maka terbaca  Partai NasDem belum berani mengajukan capres dari kader sendiri, terpaksa ikuti irama calon koalisi. Tentu dalam politik, bukan lahir tanpa sebab.

Harusnya Partai NasDem berani ajukan kader sendiri, masalah kalah atau menang lain soal. Membaca suasana kebatinan para kader Partai NasDem yang hadir pada acara rakernas tersebut, khususnya yang "mungkin" merasa mampu dan bisa diajukan sebagai bacapres, terpaksa harus "gigit jari" mengikuti alur politik atas nama usulan rakernas.

Membaca sikap Partai NasDem, mencalonkan tiga bacapres yang kemungkinan bisa disetujui oleh partner koalisi, minimal sebagai calon wakil presiden. Kelihatan Partai NasDem, ragu mengajukan kadernya sendiri. 

Strategi NasDem Mendekati PDIP

Apakah Ganjar Pranowo yang ditempatkan pada posisi ketiga setelah Anies Baswedan dan Andika, mau dan berani mundur dari usungan Partai NasDem dimana dia sebagai kader PDIP?. Atau ini merupakan strategi Surya Paloh mendekati Megawati yang sekaligus meruntuhkan rencana Prabowo Subianto berpasangan Puan Maharani? Entahlah, kita tunggu irama politik selanjutnya.

Istilahnya bagi penulis, Surya Paloh pilih strategi amankan diri dari kompetisi panas Pilpres 2024. Kalau misalnya Partai NasDem berhasil mengusung capresnya, maka posisi Anies yang capres dan wapres dari Demokrat-PKS.

Kalaupun Megawati yang menempatkan posisi capres untuk Puan Maharani, maka Ganjar Pranowo sebagai Wapres (bisa bolak balik kondisi ini). Singkat kata, Partai NasDem target utama hanya mengejar posisi menteri di Pilpres 2024, tapi bisa "kuasai" istana. Seperti apa yang terjadi saat ini. Minimal putra mahkota Prananda Surya Paloh masuk kabinet.

Prediksi Pilpres 2024

Maka bisa di prediksi ada tiga pasang capres yang akan berkompentisi di Pilpres 2024. Kalaupun para partai-partai kecil tidak berani mengusung calon sendiri, target hanya masuk kabinet. Ketiga poros itu PDIP-Gerindra, Golkar-PPP-PAN, dan Nasdem-Demokrat-PKS.

Walau syarat ambang batas terpenuhi, bisa jadi malah akan ada dua pasang saja bacapres 2024 dengan target partai followers hanya mengejar kursi menteri saja.

Indonesia kelihatan kalkulasi para elit politik dengan kalkulator jangka pendek saja. Belum memikirkan membangun atau meraih kelangsungan kesejahteraan masyarakat jangka panjang. Semua dalam kalkulasi politik pragmatis belaka.

Di Timor Leste saja, sebuah negara kecil pecahan dari Indonesia dengan penduduk sekitar 1,5 juta, memiliki 16 calon presiden. Prancis dengan penduduk sekitar 70 jutaan punya 12 Capres, Indonesia dengan penduduk 270 juta jiwa, tidak mampu menemukan calon presiden melebihi 10 orang, sungguh tragis.

Namun kita sebagai rakyat biasa, tetap harus optimis dengan meningkatkan kadar kritis demi kemajuan bangsa. Sambil tetap terus ikut cerdaskan bangsa, agar tidak terus membeo alias Asal Bapak Senang (ABS) atau Asal Ibu Senang (AIS) atas keputusan dan kebijakan pragmatis.

Jadi menurut penulis, UU. Parpol dan UU Pemilu ataupun Pilpres harus di rubah, cabut batas ambang Capres, Parpol harus ajukan kader sendiri dengan syarat ketat. Maka calon-calon presiden bisa terlatih atau siap jadi pemimpin dan mampu memahami dan mendahulukan kepentingan masyarakat, harus menjadi negarawan yang sudah selesai pada diri dan keluarganya.

Perkuat persyaratan para kader partai politik bila sudah menjadi Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati dan Walikota seharusnya mundur dari partainya untuk menghindari konflik kepentingan dalam memanfaatkan dan/atau dimamanfaatkan oleh partai yang mengusungnya.

Jakarta, 18 Juni 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun