Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Nilai Pancasila Hilang dalam Pengelolaan Sampah

4 Juni 2022   20:07 Diperbarui: 4 Juni 2022   20:11 2528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sila Kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Setiap manusia saling membutuhkan dan perlu bersatu sehingga bisa menjadi satu sistem yang kuat. Mengakui serta memperlakukan setiap orang dengan adil dan setara sesuai hak dan kewajiban asasi manusia.

Sebuah fakta bahwa para oknum pejabat dan pengusaha sudah tidak segan-segan lagi melakukan pembohongan dan pembodohan publik untuk meraup untung diatas pembangkangan regulasi UUPS. Seakan tidak mau tahu amanat apa yang terkandung dalam UUPS.

Sebagai contoh, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar telah menerbitkan atau mengeluarkan kebijakan Peraturan Menteri (Permen) LHK No. 75 Tahun 2019 mengenai Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen (PermenLHK P.75/2019) untuk pelaksanaan Extanded Produsen Responsibility (EPR). EPR adalah Corporate Social Responsibility  (CSR yang diperluas dalam urusan pengelolaan sampah kemasan produk yang berahir menjadi sampah.

Sangat nyata bahwa Permen LHK P.75/2019 tersebut melanggar UUPS, dalam UUPS sangat jelas pemerintah diberi mandat untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) untuk mengatur pelaksanaan EPR dengan terlebih dahulu melaksanakan Pasal 13, 14 dan 15 UUPS dalam sebuah PP dan bukan melalui Permen LHK. 

KLHK harus melibatkan K/L serta stakeholder lainnya dan ketuk palu oleh DPR RI bersama Presiden dalam menjalankan EPR. Menteri LHK sangat arogansi mengeluarkan Permen LHK P.75 tahun 2019 tersebut dengan bekerja sendiri. Menteri LHK membuat pelanggaran besar dalam masalah tersebut. Bila ini dibiarkan akan berpotensi raibnya uang EPR yang bersumber dari rakyat.

Tentu Stakeholder EPR akan rugi bila berjalan tanpa aturan yang jelas, berpotensi terjadi gratifikasi (korupsi) dalam pengelolaan dana EPR. Perlu diketahui bahwa dana EPR itu adalah uang rakyat (Baca: Konsumen), dimana nilai EPR telah dimasukkan pada mekanisme harga produk berkemasan. Artinya kemasan yang berahir jadi sampah, itu telah dibayar oleh konsumen. Maka uang EPR harus kembali ke masyarakat, bagi siapa yang menangkap sampah kemasan.

Pemerintah dan Pemda dalam melaksanakan pekerjaan dalam kelola sampah tanpa memperhitungkan kerugian negara atas proyek-proyek persampahan yang umumnya mangkrak di daerah. Dibalik itu tetap menarik retribusi sampah dari rakyat, sementara rakyat punya hak dalam pengelolaan sampah. Rakyat sama sekali dikebiri oleh pemerintah dan pemda melalui oknum pejabat yang lalai alias tidak pancasilais.

Hak rakyat tersebut diduga sengaja tidak disampaikan (disosialisasi) agar masyarakat tetap tidak memahami haknya. Kondisi ini hampir terjadi di seluruh Indonesia, dimana pihak pemerintah pusat tetap membiarkan kondisi "pembodohan publik" ini secara terus-menerus, agar mudah menerima kebijakan yang "sengaja" dipermainkan oleh oknum pemerintah dan pemda, tanpa peduli masukan dari masyarakat.

Sepertinya pihak elit K/L termasuk asosiasi-asosiasi yang ada, abai dengan usul-usul obyektif dari masyarakat. Malah berlaku sebaliknya, terjadi resistensi oknum pejabat dan pengusaha yang mendukungnya atas masukan yang diberikan. Maka jelas kondisi ini jauh dari rasa kemanusiaan demi atas nama kepentingan yang subyektif.

Sila Ketiga, Persatuan Indonesia. persatuan dan kesatuan yang dapat membuat bangsa Indonesia tetap utuh dan tidak terpecah belah. Untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah seharusnya sesama bangsa Indonesia saling bekerja sama dan bergotong royong dalam kehidupan bermasyarakat.

Oknum pejabat pemerintah dan pemda abai terhadap tugas dan fungsinya sebagai regulator dan fasilitator. Ahirnya apa yang terjadi dengan sikap dari pejabat yang mendukung pengelolaan sampah terkotak-kotak karena tidak ada sistem yang tegas mengikuti UUPS. Kelihatan penempatan "kepentingan" tidak semestinya, seharusnya mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok bisnis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun