Beberapa usul solusi yang penulis ajukan, semua diabaikan oleh elit KLHK dan Kemenko Marves). Sehingga kami yakin bahwa dengan mengabaikan ide-ide dari penulis dan partner, khususnya solusi EPR dari Tim Perumus EPR (Institut Teknologi Yogyakarta (ITY), Yaksindo Surabaya dan Green Indonesia Foundation Jakarta), menjadikan pemerintah dan pemda stag alias terkunci dalam menemukan solusi sampah Indonesia. Malah tadinya target Indonesia Bersih Sampah tahun 2020 bergeser ke tahun 2025 tanpa alasan oleh KLHK), bisa jadi kelak bergeser ke tahun 2030, negara kalah, yaaa jelas.
Baca Juga:Â Pemerintahan Jokowi Gagal Dalam Urusan Sampah
Kami dari Tim Perumus EPR telah menyerahkan solusi EPR secara internal untuk menerbitkan PP EPR sejak tahun 2021, namun sampai hari ini belum ada jawaban. Baik dari KLHK maupun dari Kemenko Marves. Artinya pihak pemerintah acuh tak acuh terhadap solusi yang berbasis regulasi UUPS dari masyarakat.Â
Pejabat di KLHK dan Kemenko Marves itu pilih kasih. Nah ini bukti konkrit Negara kalah dan menderita akibat pejabatnya yang tidak profesional mengurus sampah yang sangat potensi mendapatkan sumber dana baru untuk kepentingan rakyat dan bangsa, sangat sentimentil elit KLHK dan Kemenko Marves. Hanya mau menerima partisipasi orang atau lembaga yang bersifat memuaskan pribadinya para elit alias prinsip Asal Bapak Senang (ABS) atau Asal Ibu Senang (AIS).
Akibat hal tersebut diatas, menjadikan negara kalah dan rugi besar dalam urusan sampah. Sebuah fakta bahwa KLHK dan Kemenko Marves tidak mengindahkan UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) dan khusunya aspek regulasi dan partisipasi masyarakat, dimana UUPS ini mengamanatkan pengelolaan sampah di sumber timbulannya, artinya sampah harus dikelola secara desentralisasi dan bukan sentralisasi.
TPA di seluruh Indonesia, pemerintah dan pemda masih saja dibiarkan menggunakan pola Open Dumping yang sesungguhnya sudah harus di stop sejak 2013 (amanat UUPS), dengan mengganti ke pola Control Landfill dan Sanitary Landfill. Negara benar-benar kalah oleh oknum pemerintah dan pemda, rakyat yang menderita dan menanggung dampak negatif warga sekitar TPA.Â
Baca Juga:Â Sampah Plastik Dijadikan Tirai Kebobrokan Pengelolaan Sampah Indonesia
Kenyataannya bahwa KLHK terus mendorong pengelolaan sampah secara sentralistik seperti pertahankan sampah ke TPA, terus mendukung pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga sampah (PLTSa) atau Pengelolaan Sampah Energi Sampah (PSEL) walaupun ujungnya pada mangkrak, RDF dan Pirolisis termasuk membangun Pusat Daur Ulang dan TPS3R yang kesemuanya abai pada Pasal 12,13 dan 45 UUPS. Artinya masih mengangkut sampah ke TPA dan juga terus mendukung bank sampah yang tidak sesuai UUPS.
TPA pun masih saja dibiarkan menggunakan pola Open Dumping yang sesungguhnya sudah harus di stop sejak 2013 (amanat UUPS), dengan mengganti ke pola Control Landfill dan Sanitary Landfill. 438 TPA di Indonesia masih saja dibiarkan open dumping, tanpa ada ketegasan sikap pemerintah pusat untuk mengikuti amanat Pasal 44 UUPS dan PP. No. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
Baca Juga:Â Kantong Plastik Berbayar Digugat ke MA
Dalam hal pengelolaan TPA, juga antara KLHK dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), tidak ada sinkronisasi. Masing-masing kementerian tersebut bekerja sendiri sesuai egonya, tanpa peduli berapa besar uang rakyat terserap tanpa hasil.Â