"Naskah Hukum Laut Bugis yang dirumuskan oleh Matoa Amanna Gappa abad ke-17, tepatnya pada 1676, merinci ketentuan berlayar di laut, kemudian diadopsi dalam Hukum Maritim Internasional (1970). Konsep ini pula yang mengilhami dalam menemukan solusi sampah laut Indonesia." Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo).
Konsep Hukum "kepemilikan" Â dari Tokoh Bugis abad ke-17 Amanna Gappa, menjadi motivasi penulis menemukan konsep Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) dengan mencoba merumuskan sebuah sistem pengelolaan sampah di Indonesia berbasis kepemilikan bersama. Lebih khusus dalam antisipasi sampah laut nusantara dan internasional.
Mendasari konsep "kepemilikan" dari Hukum Laut yang ditulis oleh Amanna Gappa itulah yang memiliki kesamaan prinsip kerja dari mandat atau amanat UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), dimana solusi sampah dan lebih khusus sampah laut harus berbasis "kepemilikan" bersama dalam proses pengelolaan sampah laut antar pelabuhan pada satu alur perjalanan kapal, antar daerah, regional, nasional dan internasional.
Hukum laut yang dibuat oleh Amanna Gappa merupakan naskah perjanjian dagang yang ditulis dalam 18 lontara berbahasa Bugis yang disebut sebagai "Ade' allopi-loping bicaranna pa'balu-baluE" (Etika Pelayaran dan Perdagangan), naskah inilah yang menjelajah ke seluruh dunia dijadikan pedoman hukum maritim dan termasuk strategi - Saudagar Bugis - perdagangan.Â
Baca Juga:Â Hukum Laut Amanna Gappa Warisan Berharga dari Bugis untuk Dunia
Penulisan naskah hukum laut Bugis ini diperkirakan terjadi pada abad ke-17 pada tahun 1676. Perjanjian ini terdiri dari 21 pasal. Ketentuan-ketentuan yang diatur antara lain tentang cara berdagang dalam pelayaran, hubungan pemilik kapal dan nakhoda, susunan birokrasi di kapal, syarat-syarat menjadi nakhoda, hingga pembagian petak kelasi atau kamar dan gudang di dalam kapal, termasuk barang dagangan yang tidak laku dalam perjalanan bisa dikembalikan atau ditukar (retur) dengan cara konsinyasi, selain tunai dan kredit dalam niaganya.
Konsep kepemilikan yang digambarkan oleh Amanna Gappa dengan contoh kasus antara nahkoda kapal dan pemilik perahu (baca: tidak ikut di kapal) harus satu atap kepemilikan, tidak boleh terpisah satu diantaranya. Begitupun semua Anak Buah Kapal (ABK) dalam satu pelayaran, harus satu kesatuan yang utuh, untuk menghindari perselisihan antar mereka (internal) dan perselisihan dalam misi dagangnya di dalam pelayaran.
Baca Juga:Â Perjalanan Pinisi Ammana Gappa
Kesesuaian konsep kepemilikan Amanna Gappa itu serasi dengan konstruksi yang harus dibangun pada sistem pengelolaan sampah yang diamanatkan oleh UUPS dan seluruh regulasi turunannya dan regulasi yang menjadi pendukung dari UUPS itu sendiri.
Karena dalam pengelolaan sampah di Indonesia, tidak hanya berdasar semata UUPS, tapi juga harus berdasar pada UU. No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) dimana dalam UUCK terdapat beberapa undang-undang yang terdampak didalamnya yang juga menjadi dasar pengelolaan sampah.