"Terjadi kontra-produktif bila hendak dipertahankan keberadaan pemulung sampah di Tempat Pembuangan sampah Ahir (TPA) dengan pelaksanaan Pasal 44 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), dimana TPA wajib ditutup sejak 2013 dengan berganti pola dari Open Dumping ke Control Landfill atau Sanitari Landfill" Asrul Hoesein, Pendiri Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) Indonesia.
Dalam pantauan Green Indonesia Foundation (GiF) Jakarta, ada sekitar 438 TPA yang ada di Indonesia, hampir semuanya masih pola lama yaitu Open Dumping. Banyak pemulung bekerja mengais sampah disana, karena memang Open Dumping merupakan area pemulung sampah bekerja yang paling bebas.Â
Pemulung sampah yang bekerja di TPA, ada yang terorganisir melalui organisasi atau komunitas resmi berbadan hukum, dan memang sudah sejak lama mereka berusaha disana. Umumnya mereka di backup oleh pengusaha scrap sampah kompensional atau sebutlah pelapak dan ada kelompok perorangan tanpa organisasi atau komunitas. Malah ada juga pengusaha modern industri daur ulang punya asosiasi, juga mencoba ikut masuk ke TPA.
Dalam satu TPA bila jumlah pemulungnya diratakan seluruh Indonesia, setidaknya ada sekitar 20 orang per TPA, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, ada orang tua dan remaja, bahkan ada anak di bawah umur. Kalau kondisi TPA di berbagai Kota Metropolitan dan Megapolitan bisa jadi mencapai ratusan pemulung per TPA. Juga malah ada sebagian pemulung sampah tinggal dan hidup di TPA bersama keluarganya.
Baca Juga:Â Tantangan dan Peluang Koperasi dalam Pengelolaan Bank Sampah
Dalam satu TPA, bisa terjadi banyak bos-bos pelapak yang masing-masing punya kelompok pemulung sampah. Ada juga TPA, bos pelapaknya tunggal yang mengusai TPA dan langsung membeli scrap sampah yang dikumpul oleh pemulung. Ditemukan pula, ada pemulung partime insidentil tanpa bos pelapak.Â
Semua bos-bos pelapak ini mendapat izin depakto dan ada yang saling berkait, termasuk para kendaraan angkutan sampah dan pengumpul yang ada di masing-masing Tempat Pengumpulan sampah Sementara (TPS) tersebar.
Sama seperti pemulung bergerak dari satu tempat tempat lainnya, keliling mengais sampah, pemulung ini lebih spesifik lagi yang ditangkap sampahnya, umumnya hanya plastil botol/gelas air mineral dan kertas karton. Pemulung bergerak ini juga umumnya punya tempat jual tertentu tanpa bos, sebagian kecil juga punya bos pelapak.
Pemulung Mutlak Hijrah
Mau sejahterahkan pemulung? Tapi yang serius, jangan malah dimanfaatkan alias eksploitasi. Fokus dan jangan main-main, bangun suprastruktur untuk jalankan infrastruktur yang sehat dan berkelanjutan bagi kehidupan mereka.Â
Bantuan insidentil dari perusahaan-perusahaan Corporate Social Responsibility (CSR) pada pemulung sampah dan bank sampah atau pengelola sampah lainnya, itu belum masuk kategori misi sejahterahkan mereka, impossible. Itu sama saja beri ikan saja untuk makan satu hari. Tapi berikan kailnya, itu yang benar dan manusiawi.
Bila peduli dan ingin sejahterahkan pemulung sampah di TPA dan termasuk pemulung bergerak, absolut di trasformasi atau hijrah dari hilir ke hulu, identifikasi dengan buatkan kelembagaan yang paten untuk mereka miliki, lalu mereka dimasukkan sebagai bagian dari pemilik usaha (diberi saham) pada instalasi olah sampah yang dibangun di kawasan sumber timbulan sampah.
"Solusi insidentil untuk menambah penghasilan pemulung sampah di TPA, sambil menunggu perpindahan mereka bekerja ke sumber timbulan sampah. Fasilitasi dan edukasi mereka untuk memproduksi pupuk kompos organik yang sangat banyak terbuang di TPA. Jamin pembelian hasil olahan sampah organik tersebut." Asrul Hoesein, Founder Yayasan Kelola Sampah Indonesia (Yaksindo).
Organisasi terstruktur dan non organisasi ataupun komunitas yang menaungi para pemulung sampah, semua beralasan dan punya misi untuk mensejahterahkan para pemulung yang bekerja dibawah pengawasannya. Namun faktanya, hanya semacam karyawan harian biasa saja yang memungut sampah secara monoton.
Sebuah target yang keliru bila tidak membangun suprastruktur dan infrastruktur mengikuti arah UUPS atau sama saja misi impossible bila pemulung tetap di TPA. Bisa jadi mereka tidak mengetahui ada bantuan bagi dirinya, itupun kalau mereka ketahui, karena semua pemberi bantuan butuh dokumentasi. Tapi yang diatas kertas, bisa saja para pemulung tidak mengetahui jumlah dan jenis bantuan sesuai yang sebenarnya.Â
Yes, Ada foto dokumen dengan spanduk lengkap, padahal itu hanya untuk dokumen si pemberi bantuan sebagai bukti pengeluaran CSR saja. Kasian mereka, seakan terjadi eksploitasi. Namun semoga dugaan ini meleset. Tapi tulisan ini berbasis data dan kunjungan lapangan yang valid bisa dipertanggungjawabkan.
Baca Juga:Â Kilas Balik Perjuangan Asrul Hoesein Melahirkan PKPS
Aktifitas mereka di TPA sesungguhnya pekerjaan monoton saja sebagai pemulung sampah yang hanya mampu berhitung harian tanpa bisa memprediksi masa depan diri dan keluarganya.
Tanpa bisa kalkulasi untuk meningkatkan taraf ekonomi dan masa depan atas pekerjaannya sebagai pemulung sampah. Artinya susah dijamin akan kehidupan masa depan mereka, kecuali hanya dapat diukur insidentil dengan banyaknya sampah gelondongan yang masuk ke TPA, itupun mereka seperti berebutan bila mobil angkut sampah tiba di TPA.
Tapi walaupun banyak sampah yang masuk setiap hari ke TPa, tetap  saja kehidupan mereka tergantung pada hasil pekerjaan harian sesuai volume sampah yang mereka tangkap. Masa depan mereka tetap tidak bisa terjamin dan mereka berpotensi di eksploitasi oleh oknum yang tidak bertanggungjawab.
Atas fenomena tersebut tentu organisasi atau komunitas yang menghimpun para pemulung tersebut sangatlah tidak setuju untuk dilaksanakan penutupan TPA Open dumping sesuai amanat  Pasal 44 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).
Dari ketidaksetujuan komunitas pemulung sampah di TPA, menjadi mainan para perusahaan CSR dan Industri Daur Ulang serta oknum pejabat pemerintah dan pemda yang menangani sampah dan khususnya TPA, beralasan untuk tetap mendukung keberadaan pemulung sampah di TPA.
Baca Juga:Â Pemulung Sampah Diberdayakan Melalui Primer Koperasi Bank Sampah
Seharusnya organisasi atau komunitas para pemulung sampah melakukan perubahan paradigma untuk mengikuti amanat UUPS agar hijrah bekerja dan mencari peluang usaha baru ke sumber timbulan sampah dengan mengikutsertakan para pemulung untuk bekerja pada instalasi olah sampah yang dibangun pada kawasan sumber timbulan sampah.
Suka atau tidak suka, komunitas yang menghimpun para pemulung sampah harus melakukan inovasi organisasi dan usaha. Karena pemerintah dan pemda jelas tidak akan bisa mentolerir untuk dibiarkan bertahan di TPA, karena jelas pada ahirnya TPA terpaksa harus ditutup. Karena TPA Open Dumping harus bertrasformasi dari TPA Open Dumping ke TPA Control Landfill atau Sanitary Landfill dan itu wajib di lakukan pemda sejak 2013, sebagaimana perintah regulasi sampah.
TPA yang sudah meninggalkan pola Open Dumping berarti secara otomatis mata pencaharian para pemulung sudah habis, karena sampah yang ke TPA hanya residu sampah yang tidak memiliki nilai ekonomi, karena harus langsung di proses pada Control Landfill dan Sanitary Landfill sesuai kategori daerahnya yang telah diatur dalam regulasi sampah.
Baca Juga:Â PKPS, Koperasi Sampah Berbasis Multipihak
Bila organisasi  atau komunitas para pemulung sampah tidak bersedia bertrasformasi ke sumber timbulan sampah sebagai ruang usaha barunya, maka lambat atau cepat tetap tidak akan mendapat ruang di TPA.
Bisa jadi pemulung sampah yang akan meninggalkan organisasinya di TPA untuk ikut bekerja dan menjadi pemilik di Instalasi Olah Sampah yang dibangun oleh pemilik kawasan sesuai regulasi sampah dan pasti mereka bergeser karena sangat jelas mereka dapat memprediksi perubahan taraf eknonomi dan sosialnya bila meninggalkan TPA.
Bisa jadi sekarang mereka belum tahu, tapi pasti tiba masanya mereka menjadi tahu. Karena pemulung juga manusia yang tentu ingin meningkatkan kesejahteraan dan status sosial atau pekerjaannya, dari status pemulung menjadi karyawan atau pemilik usaha dari instalasi olah sampah kawasan. Ini bukan teori, tapi sesungguhnya inilah mandat UUPS yang harus dijalankan, tanpa harus mendengar alasan subyektifitas dari komunitas pemulung yang ada di TPA.
Jadi pilihaan pada organisasi pemulung, antara melakukan transformasi atau hijrah membuka lapangan kerja baru yang lebih baik daripada di TPA atau ditinggalkan oleh pemulung itu sendiri untuk mengikuti perkembangan peradaban dengan berproses hijrah status sosial yang lebih merdeka dan beradab.
Bila organisasi pemulung merubah pola kerja dari hilir (TPA) ke hulu (Sumber Timbulan Sampah), maka bisa dipastikan bahwa inilah jalan yang obyektif untuk mensejahterakan dan sekaligus mengangkat derajat sosial para pemulung yang menjadi anggotanya, bukan dengan cara mempertahankan pemulung di TPA.Â
Termasuk merekrut juga para pemulung bergerak yang selama ini diluar jangkauan organisasi atau komunitas pemulung. Selanjutnya disalurkan juga ke instalasi olah sampah yang sama dan tersebar di berbagai kawasan timbulan sampah bersama pemulung yang berasal dari TPA. Sebagian ada pemulung yang diberi bea siswa pada berbagai tingkat pendidikan.
Bila ada asosiasi atau perusahaan yang mendukung pemulung tetap berada di TPA, maka patut diduga mereka hanya ingin memanfaatkan atau eksploitasi pemulung sampah agar bisa mendapat untung atas nama pemulung dari permainan kongkalikong dari dana CSR perusahaannya yang tidak punya visi dan misi yang jelas terhadap perbaikan lingkungan dan kemasyarakatan serta keadilan sosial.
Sedikit solusi sementara untuk menambah penghasilan pemulung sampah di TPA, sambil menunggu perpindahan mereka ke sumber timbulan sampah. Fasilitasi dan edukasi mereka untuk memproduksi kompos organik yang sangat banyak terbuang di TPA. Jamin pembelian hasil olahan sampah organik tersebut.
Jakarta, 2 April 2022
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI