Menciptakan "kesan dinasti politik" yang berproses dari bawah bisa saja diterima sebagai strategi cerdas dibandingkan dengan cara-cara instan demi mempertahankan kekuasaan. Saat ini banyak dipertontonkan oleh pada umumnya para politikus terhadap eksistensi putra-putrinya (termasuk suami/istri) dalam menciptakan generasi politik instan yang berlabel dinasti politik murni.
Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Presiden ke-6 Megawati Soekarnoputri memberi signal keras terhadap rencana regenerasi kepemimpinan di partainya pada acara peresmian 13 kantor cabang PDIP, 1 patung Soekarno, dan 1 sekolah partai pada Peringatan Hari Sumpah Pemuda yang dilakukan secara virtual dari Jakarta (Rabu, 28/10/2020).
Megawati mengatakan bahwa meskipun dirinya suatu saat nanti tidak akan memimpin lagi partai bentukannya tersebut, namun diharapkan para anggotanya harus tetap menghormati hasil kongres partai sebagai institusi tertinggi yang ada di partai.
Tersirat kalimat tersebut bisa terdeteksi "terbaca" seakan mengarahkan atau memberi kode keras bahwa secara tidak langsung mendorong putrinya Puan Maharani sebagai kandidat kuat menjadi Ketum PDIP untuk mengganti posisi tertinggi pada partai yang dia bangun dengan susah payah tersebut.
Banyak tanda-tanda dari Megawati untuk memberi ruang pada sang putri mahkota Puan Maharani, sampai-sampai hampir tidak pernah terdengar ada riak untuk memberi atau terbuka ruang pada kader lainnya untuk mengganti posisi Megawati, padahal banyak kader PDIP lebih mumpuni dalam politik dan kepemimpinan dari putrinya sendiri.
Mungkin diantara partai besar selain Partai Golkar, adalah PDIP sendiri yang banyak memiliki kader yang bisa menggantikan posisi Megawati sebagai Ketum PDIP. Sebut misalnya Tjahjo Kumolo, Maruarar Sirait, Pramono Anung, Hasto Kristiyanto, Yasonna Laoly dan lainnya.
Membaca perjalanan PDIP sejak berdirinya tahun 1999 dengan Megawati sebagai ketua umumnya sampai sekarang dan belum pernah terganti atau ada kader yang berani coba bersaing dengan dirinya secara terbuka. Dimana diketahui  bersama bahwa kelahiran PDIP sangat terkait dengan peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli). Tentu beberapa kader lainnya yang berjuang bersama Megawati, putri Proklamator dan Presiden Pertama Bung Karno.Â
Seharusnya pada periode saat ini dan bahkan sebelumnya lagi, tampuk kepemimpinan sebagai Ketum PDIP itu sudah alih generasi di tubuh PDIP sendiri. Dimana seharusnya Megawati cukup menjadi Pembina PDIP saja.
Tapi karena ada kecenderungan mengawal atau menjadikan Puan Maharani sebagai Ketum PDIP berikutnya. Karena mungkin putri mahkota yang belum mumpuni menjadi pemimpin puncak. Maka Megawati masih saja bertahan pada kekuasaan di PDIP, biar dengan mulus mengawal sekaligus menunggu Puan Maharani sampai mampu dan diterima sebagai kader PDIP penerus kepemimpinan sang ibu kandung.Â
Tapi mungkin saat ini karena Puan Maharani sudah berada pada karir tinggi sebagai Ketua DPR-RI yang juga mantan menteri, maka kode keras alih generasi di PDIP itu mulai berembus atau dihembuskan sendiri oleh Megawati. Jelas terjadi dialog-dialog ekstra pada tubuh PDIP menghadapi alih generasi tersebut.Â
Megawati sudah memberi isyarat pada kader lain yang lebih mampu dari putrinya untuk mendukungnya. Momentum ini sangat beririsan dengan mendekatinya Pilpres 2024. Tapi diperkirakan Puan Maharani tidak semulus harapan Megawati, tentu ada resistensi dan kompetisi demi atas nama kebesaran PDIP yang sudah membumi.Â
Tapi bila Megawati memaksakan diri mengarahkan Puan Maharani menjadi Ketum PDIP, diprediksi PDIP akan terjadi resistensi atau gelombang penolakan atau perlawanan besar untuk menantang keinginan Megawati dan ikut berkompetisi menjadi calon Ketum PDIP melawan Puan Maharani.
Mungkin yang lebih parah akan terjadi adalah perpecahan di tubuh elit PDIP, bila Megawati memaksakan kehendaknya agar Puan Maharani mengganti posisinya sebagai Ketum PDIP walau itu melalui kongres atau musyawarah tertinggi partai politik.
Tentu harapan Megawati bila kader elit PDIP mendukung keinginannya agar Puan Maharani di daulat menjadi Ketum PDIP. Tentu harapan ini akan bermuara pada tujuan ahir Megawati menjadikan Puan Maharani menjadi Presiden RI pasca Presiden Joko Widodo pada tahun 2024 yang akan datang.
Makassar, 30 Oktober 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H