Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pantaskah Gubernur Menolak UU Cipta Kerja?

13 Oktober 2020   05:05 Diperbarui: 13 Oktober 2020   05:41 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sangat penting dalam membangun sistem tata kelola antara  pusat dan daerah agar kian efektif dan efisien, juga dalam rangka mempercepat reformasi birokrasi dan juga bagian dari upaya untuk memperkuat otonomi daerah"

Perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat internal secara virtual membahas UU Cipta Kerja dari Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (9/10/2020) pagi.

Presiden meminta kepada 34 gubernur seluruh Indonesia agar satu suara mendukung UU Cipta Kerja. Dilarang menolak UU Cipta Kerja.

Diketahui bahwa beberapa gubernur dengan tegas menyatakan menolak UU Cipta Kerja (Baca Kompas: Jokowi Yakinkan Para Gubernur UU Cipta Kerja untuk Kemaslahatan Bersama).

Sampai saat ini setidaknya ada lima Gubernur dan dua Ketua DPRD menyampaikan aspirasi demonstran yang menolak UU Cipta Kerja. Mereka di antaranya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil; Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa; Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno; Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji; Ketua DPRD Sumatera Barat Supardi; dan Ketua DPRD Sulawesi Tenggara Abdurrahman Shaleh. (Baca: Ramai-ramai Kepala Daerah Mohon Jokowi Cabut Omnibus Law).

Mereka menolak UU Cipta Kerja, sebagaimana yang diaspirasikan oleh buruh dan mahasiswa, karena dinilai telah merugikan masyarakat, utamanya kelompok pekerja dan buruh.

Oleh karenanya, mereka mendesak agar Jokowi segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut atau membatalkan pengesahan RUU Cipta Kerja. 

Selain itu, dalam rapat tersebut Jokowi juga memerintahkan para menterinya untuk lebih mengintensifkan lagi komunikasi dengan publik untuk terus mensosialisasikan terkait keberadaan UU Cipta Kerja.

Sumber Ilustrasi: KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Rekam jejak omnibus law UU Cipta Kerja
Sumber Ilustrasi: KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Rekam jejak omnibus law UU Cipta Kerja
Posisi Gubernur Buah Simalakama Terhadap UU Cipta Kerja

Pada dasarnya, gubernur memiliki tugas dan wewenang memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD provinsi.

Lebih tegas dalam PP No. 33 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat (tautan: PP Nomor 33 Tahun 2018). Gubernur adalah sebagai wakil pemerintah pusat seharusnya mendukung dan tunduk atas kebijakan presiden sebagai kepala pemerintahan. Mengamankan setiap kebijakan pemerintah pusat, bukan malah sebaliknya.

Jadi -- idealnya -- Jokowi tidak perlu susah payah meminta kepada gubernur, karena sebagai wakil di daerah, gubernur harus satu suara. Ya memang idealnya satu suara, biar tanpa arahan dari presiden lagi. Aneh ya di Indonesia. 

Tapi susah juga karena gubernur lebih takut pada ketua umum partai daripada presiden. Memang dilematis posisi Jokowi di periode kedua ini, disamping tidak menguasai partai atau tidak berada pada posisi puncak partai. Walau Jokowi sempat memengaruhi dengan cepat 80% partai di DPR-RI, artinya secara umum posisi politik Jokowi sangat kuat.

Jokowi dalam eksistensinya sebagai presiden, berada diahir masa dua periode. Jadi memang pantas Jokowi harus pilih tegas dalam berpikir dan bertindak, dan bila perlu pakai kaca mata kuda saja, demi aplikasi program -- Nawacita -- yang telah dijual pada masyarakat. Saat ini Jokowi harus lebih takut pada kebencian rakyat dibanding dengan kebencian partai. 

Maka hampir pasti partai pendukung Jokowi sendiri memilih cari strategi untuk pasang kuda-kuda menghadapi Pilpres 2024. Jadi sangat nyata, baik partai maupun kader-kader elit partai saat ini berlomba mencari perhatian publik dan partai demi meningkatkan elektabilitasnya menuju Pemilu dan Pilpres 2024.

Dalam menghadapi Pilpres 2024, momentum penolakan UU Cipta Kerja bisa saja jadi tumpangan partai ataupun person yang ingin ikut berlaga pada Pilpres 2024.

Pada sisi lain, Jokowi tentu tidak memperhatikan lagi elektabilitasnya. Tapi lebih kepada bagaimana cara supaya janji-janjinya dalam Nawacita (I dan II) bisa terwujud pada periode ahir jabatannya selaku presiden. 

Kalau Jokowi pilih aman, ya tentu santai saja sampai ahir masa jabatannya. Hal urusan Omnibus Law Cipta Kerja, serahkan saja pada presiden yang akan datang. Tapi senyatanya Jokowi ingin membuat sejarah baru dan besar demi peningkatan kesejahteraan rakyat dengan menerbitkan UU Cipta Kerja. 

Posisi gubernur juga dilematis karena bukan dipilih atau diangkat langsung oleh presiden. Tapi umumnya gubernur melalui partai di pemilukada, hanya sedikit melalui jalur perseorangan. Jadi praktis posisinya bukan jabatan karir tapi politis. Harus tunduk pula pada partai pengusungnya, sepertinya terjadi buah simalakama.

Maka ke depan seharusnya posisi gubernur itu bukan melalui pemilukada. Tapi sebaiknya diangkat atau ditunjuk dan diberhentikan langsung oleh presiden melalui usulan DPRD provinsi. Karena terjadi dilematis - ketaatan - bila merunut fungsi dan tugasnya pada perundang-undangan yang berlaku. 

Selamat Pak Jokowi, Anda hebat karena sempat -- berpotensi -- membuat geger gubernur dan bisa membuat mereka salah langkah di masyarakat.

Jakarta, 13 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun