Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Heboh Sampah Plastik Diperebutkan Perusahaan Nasional dan Multinasional

29 Mei 2020   07:07 Diperbarui: 31 Mei 2020   15:27 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Sampah sumber ekonomi yang terabaikan oleh masyarakat, tapi menjadi rebutan para pengusaha besar. Sumber: Dokpri | ASRUL HOESEIN

Terjadi protes atau pro-kontra dari lembaga swadaya masyarakat dan industri berbahan baku daur ulang plastik khususnya ex sampah plastik botol mineral atau PET (Polyethylene Terephthalate) kepada kegiatan usaha kelola sampah plastik PET oleh perusahaan besar multinasional yang ada di Indonesia. Hal ini sebagaimana pemberitaan yang ada di website Adupi "Masuknya Coca-Cola ke Bisnis Daur Ulang Dipertanyakan" 

Akibat masuknya perusahaan raksasa PT. Coca Cola Indonesia ke bisnis daur ulang PET dengan menggandeng perusahaan multinasional Dynapack Asia (Dynapack), Hal ini dianggap oleh industri daur ulang nasional mengganggu usaha kecil. 

Usaha kecil yang mana sebenarnya, karena industri yang menggunakan scrap PET adalah industri skala besar nasional juga. Bukan industri skala UKM, sebagaimana dilansir dalam pemberitaan tersebut. Mungkin kalau ditelusuri, juga menggunakan dana investasi asing oleh perusahaan yang dominasi penggunaan bahan plastik PET. 

PT. Coca Cola  termasuk penghasil sampah kemasan. Bersama kelompokmya telah menginisiasi pembentukan Packaging Recovery Organization (PRO), yakni sebuah organisasi untuk mengelola sampah kemasan dalam mendorong penerapan circular economy, untuk mengatasi persoalan banyaknya sampah kemasan yang belum bisa dimanfaatkan dengan baik. PRO dibentuk bersama beberapa perusahaan yang tergabung dalam Packaging and Recycling Association for Indonesia Sustainable Environment (PRAISE).

PT. Coca-Cola sebagai perusahaan raksasa dianggap tidak pantas masuk ke bisnis berbahan baku sampah plastik PET tersebut. Dianggap tidak etis, lucu juga menghubungkan hal etis disini, karena memangnya selama ini industri daur ulang sudah berlaku etis dalam pengelolaan sampah. Sementara apa yang dilakukan oleh PT. Coca Cola sama saja dengan PT. Danone Indonesia dan PT. Kemasan Ciptatama Sempurna, PT. Unilever Indonesia dan lainnya yaitu ingin menarik sampah dari ex produknya sendiri. 

Baca Juga: Indonesia Darurat Sampah, Birokrasi dan Asosiasi Abaikan Regulasi

Jadi persaingan ini sebenarnya membuktikan bahwa industri daur ulang plastik tidak memiliki binaan pengelola sampah garda terdepan, kecuali mungkin perwakilan usahanya sendiri yang tersebar di daerah untuk membeli scrap PET. Karena kelihatan risau dan ketakutan tidak mendapatkan barang scrap PET.  Bisa jadi pula sudah tidak leluasa lagi seenaknya menentukan harga scrap PET, karena ada pengusaha "pelapak berdasi" yang baru menjadi saingannya.

Sebenarnya dengan adanya Coca-Cola atau Danone atau siapa saja yang ingin berbisnis sampah,  itu akan memberi keuntungan para pemulung, pelapak, bank sampah asal tersistem sesuai regulasi. Sekaligus memberi peringatan atau perhatian kepada industri daur ulang plastik untuk introspeksi, bahwa selama ini memang mereka kurang ikut berperan terhadap perbaikan pengelolaan sampah di Indonesia.

Perlu juga diketahui bahwa apa yang dilakukan sendiri oleh Coca-Cola, Danon, Unilever, PT Tetra Pak Indonesia, Arta Boga Cemerlang (Orang Tua Group) dan lainnya itu bukan pula masuk kategori melaksanakan Extaended Produsen Responsibility (EPR). Karena bukan dengan cara demikian mengaplikasi EPR. Tapi bisa saja mereka melakukan ujicoba, sebelum pemerintah menentukan sistem baku EPR di Indonesia. 

Baca Juga: Korelasi Sampah dengan CSR dan EPR

Kadin dan Fungsi Asosiasi 

Mengherankan adalah asosiasi industri daur ulang plastik yang merasa dirugikan, kenapa tidak manfaatkan asosiasinya untuk merangkul para pihak, antara lain lintas asosiasi, LSM/NGO yang paham masalah problematik tata kelola sampah serta perusahaan berkemasan itu sendiri membuat paper sistem dan kebijakan EPR lalu mendesak pemerintah untuk menciptakan kebijakan yang berbasis regulasi. 

Bukan justru saling bersinggungan diluar, yang tidak ada artinya. Malah lebih memperlihatkan permainan yang mengarah pada subyektifitas dan kekakuan dalam berusaha dan berorganisasi. Bukan hanya untuk memperjuangkan kepentingan perusahaan atau kelompok sendiri yang subyektif. Manfaatkan organisasi ke jalan yang benar, jangan malah ingin melindungi permainan kotor dibalik organisasi. 

Itulah gunanya keberadaan organisasi atau asosiasi untuk mengawal usahanya agar berada pada rel dan norma yang ada,  jangan diputar balik fungsi asosiasi. 

Kadin Indonesia juga harusnya turun menengahi masalah sampah tersebut. Tidak boleh dibiarkan perusahaan nasional dan multinasional bertindak seenaknya, bisa tambah hancur pengelolaan sampah. Organisasi di persampahan juga terlalu banyak saling silang dan tidak saling menguatkan, justru saling melemahkan. 

Baca Juga: Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia

Siapa Pengelola Sampah 

Industri daur ulang plastik juga selama ini belum masuk sebagai kategori pengelola sampah, karena mereka hanya membeli bebas bahan baku plastik khususnya jenis scrap PET dan lainnya. Pengelola sampah itu merupakan rangkaian hulu-hilir, rantai kegiatannya harus terintegrasi. 

Mereka harus bahu membahu, gotong-royong Memastikan perbedaan. Perhatikan sampah itu sendiri berbaur rupa benda yang berbeda jadi satu dan dipilah Lalu dimanfaatkan, itulah kehidupan paradox yang harus dimaknai positif. Jangan hidup linear seperti sampah itu sendiri. Jangan terlalu sederhana mengartikan dan memahami regulasi... ?!

Makanya dari dulu industri daur ulang kurang peduli atas adanya bank sampah dan terlebih munculnya pembentukan Primer Koperasi Pengelola Sampah (PKPS) sebagai medium circular economy pengelolaan sampah di Indonesia, karena mungkin merasa terganggu, padahal justru PKPS akan menjadi penyelaras kegiatan pengelolaan dan pengolahan sampah hulu-hilir. 

Disitulah Kesalahpahaman industri daur ulang terhadap PKPS, malah PKPS akan membantu industri daur ulang, industri berkemasan, usaha pelapak, pemulung dan pengelola bank sampah. Semua penghasil dan pengelola sampah berhak menjadi anggota biasa dan/atau anggota luar biasa PKPS. Kepemilikan PKPS bersifat multy stakeholder dan bukan single stakeholder.  

PKPS merupakan pusat kordinasi pembinaan sosial dan bisnis para pihak pengelola sampah, termasuk hubungan dengan pemerintah dan pemerintah daerah. Artinya PKPS adalah basis circular economy, silakan baca regulasi dengan baik dan jangan baca dan pahami hanya pasal per pasal saja. Termasuk baca regulasi turunannya. 

Jadi dengan adanya Coca Cola ikut masuk dalam perdagangan PET ini, justru lebih bagus dan menggairahkan para pemulung dan pelapak. Minimal Ada alternatif untuk menjual scrap PET dan tidak mudah lagi dipermainkan oleh industri daur ulang dalam negeri yang juga telah memasang perwakilan perusahaannya di daerah-daerah. Justru perusahaan industri daur ulang akan melakukan usaha bank sampah, bila bermain sendiri. 

Baca Juga: EPR Merupakan Investasi dan Menyelamatkan Bumi dari Sampah

Harus Mengikuti Regulasi

Sesungguhnya dengan adanya resistensi tersebut, menjadi nampak nyata kesalahan pemerintah dan pihak asosiasi daur ulang. Karena selama ini mereka tidak menata rapi tata kelola sampah di Indonesia. Jadi seharusnya baik perusahaan besar seperti Coca-Cola, Danone itu tidak boleh langsung memasang perwakilan pada garda terdepan. Mereka harus mengikuti sistem yang telah diatur dalam regulasi sampah.

Harus melibatkan bank sampah melalui lembaga bisnis PKPS yang telah di kawal oleh Kementerian Koperasi dan UKM, karena persoalan sampah tidak boleh hanya dipandang dari sudut bisnis semata. Ada masalah sosial, lingkungan atau ekologi yang harus ikut diperhatikan. Memang karakteristik bisnis sampah sangat jauh berbeda dengan bisnis pada umumnya dan jangan disamakan, karena akan rugi sendiri. 

Apalagi pro-kontra  yang terjadi tersebut hanya mempersoalkan bagian kecil dari sampah plastik, yaitu jenis PET saja. Maka sangat dinyakini bahwa yang terganggu adalah usaha besar pula yang atas namakan dirinya sebagai kelompok usaha kecil. Padahal bisa jadi mereka juga menggunakan dana investasi asing. Inilah kekurangan asosiasi selama daur ulang plastik selama ini karena hanya memikirkan usahanya sendiri, asosiasi hanya dijadikan power politik bisnis. 

Baca Juga: Koperasi Sampah Penggerak Circular Ekonomi Indonesia Bersih

Seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Perindustrian (Kemenperind), Kementerian Koperasi dan UKM duduk bersama mengatur masalah ini. Sekaligus menata pelabelan kemasan dan kewajiban perusahaan menarik ex produknya yang berahir dengan sampah. Serta membangun sistem untuk pelaksaanaan EPR, sebagaimana amanat regulasi persampahan. Khususnya Pasal 13,14,15,20,21,44,45 UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS). 

Banyak juga pendapat yang keliru dalam menyikapi Pasal 15 UUPS, dianggap perusahaan produsen barang/berkemasan hanya berkewajiban menarik atau mengelola sampah ex-produknya yang tidak bisa di hari oleh alam. Padahal semua produknya, termasuk yang bisa di daur ulang wajib diperhitungkan EPRnya. 

Makanya Pasal 14 UUPS perlu segera dibahas dan diselesaikan agar kemasan produk bisa di label sekaligus memutuskan nilai kemasan setelah jadi sampah untuk menjadi dasar perhitungan di bank sampah atau pengelola sampah garda terdepan di masyarakat. 

Juga terhadap industri daur ulang melalui asosiasinya, jangan hanya ingin manfaatkan pengelola sampah seakan pengusaha kecil yang merasa terganggu oleh kehadiran perusahaan multinasional. 

Memang selama ini industri berbahan baku daur ulang terlena, dengan mengabaikan bank sampah sebagai mitranya. Hanya ingin mengambil untung dibalik kesusahan usaha para pemulung sampah atau bank sampah. Asosiasi yang ada tidak bertindak atau tidak melaksanakan fungsinya sebagai mitra sejajar pemerintah. Kekuatan asosiasi tidak terpakai, karena tergerus kepentingan personal atau kelompok. 

Termasuk para industri daur ulang tidak melakukan pendampingan secara terstruktur kepada para pemulung, pelapak atau bank sampah dan terkesan diabaikan. Termasuk menjadi pertanyaan apakah perusahaan industri daur ulang juga sudah mengeluarkan CSR untuk membantu pembinaan pengelolaan sampah ?

Baca Juga: Kemenkop dan UKM Dorong Pengelolaan Sampah Melalui PKPS

Industri daur ulang atau industri produk berkemasan semua selalu bicara peduli dan menjaga lingkungan melalui sistem circular economy, tapi senyatanya hanya pencitraan saja. Tidak ada pelaksaanaan circular economy. Mereka hanya membeli scrap plastik dan tidak ada perbaikan waste management. Faktanya tingkat daur ulang sampah plastik di Indonesia itu hanya sekitar 8-9 persen. Artinya, 80-90 persen sampah plastik jatuhnya ke sungai atau laut dan TPA.

Masalah yang diributkan di media adalah hanya jenis PET, bicara sampah itu bukan cuma PET. Tapi banyak ragam lainnya. Jadi adanya usaha PT. Coca Cola itu sebenarnya pertanda bahwa industri daur ulang dalam negeri diminta ikut bersaing sehat dan jujur. Serta tidak senaknya lagi menentukan atau mempermainkan harga.

Tidak ada aturan pula untuk melarang orang atau perusahaan besar asing datang ke Indonesia untuk berusaha dan mencari uang. Ya silakan sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan dari pemerintah dan pemda.

Semua kejadian tersebut merupakan sebuah koreksi yang menandakan industri daur ulang ini panik kedatangan saingan. Jangan menolak peradaban dan ingat ada perjanjian dunia atas perdagangan bebas (globalisasi dalam bidang ekonomi) yang sudah diterima dan disepakati oleh Indonesia.

Juga perlu diketahui para pihak bahwa urusan industri daur ulang dalam kaitan plastik PET di Indonesia belum berjalan dengan baik sesuai regulasi. Jangan karena dikatakan banyak yang beli dijadikan tolak ukur keberhasilan, justru malah merusak mindset pengelola sampah garda terdepan. 

Fakta bahwa urusan sampah lainnya tidak menjadi daya tarik untuk dikelola termasuk sisi negatifnya adalah PET menjadi primadona dan dikerumuni pemulung sampai pengusaha seperti semut dan gula. Ingat PET adalah ex-produk lalu jadi sampah bercampur, maka jangan hanya bicara plastik PET saja.

Perusahaan sebesar apapun akan mendapat masalah bila hanya ingin mengelola sendiri sampah ex-produknya Tanpa ingin ikut mengelola atau melirik sampah lainnya. 

Jadi harus melalui sistem yang diatur dalam regulasi, harus ada kolaborasi dalam membangun suprastruktur dan infrastruktur pengelolaan sampah yang berkeadilan. Makanya semua pelaku industri daur ulang kalau mau didukung oleh negara.

Maka berbuatlah sesuai regulasi. Jangan selalu menuntut hak atau insentif sebelum melaksanakan kewajibannya. Mari berpikir dan bekerja dengan baik. 

Surabaya, 29/5/2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun