Menanggapi pemberitaan melalui website Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia (ADUPI) dengan judul "EPR Belum Jalan di Indonesia, Ini Penyebabnya" perlu kami tanggapi beberapa penjelasan dari Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi dan Tekstil Kementerian Perindustrian (Dirjen IKFT Kemenperin) Muhammad Khayam.
Patut disayangkan, entah sengaja atau tidak. Masih banyak kalangan dalam membaca regulasi sampah secara parsial atau sepotong-potong, tidak membaca penjelasan pasalnya. Juga alfa membaca turunan dari undang-undang (UU) tersebut berupa peraturan pemerintah, peraturan presiden ataupun peraturan menteri dan lainnya.
Padahal sebuah UU itu memiliki pasal yang terkait antar pasal dalam satu UU. Disampaing keterkaitan antar UU lainnya yang saling mendukung dan melengkapi. Juga banyak yang salah paham tentang regulasi. Mereka anggap memberatkan, padahal justru regulasi itu sangat menguntungkan semua pihak. Khususnya para pengusaha, akan menjaga investasi itu sendiri.Â
Baca Juga:Â Sumber Kekacauan Pengelolaan Sampah Indonesia
Tanggapan Green Indonesia Foundation (GiF) Jakarta atas keterangan Muhammad Khayam
Dirjen IKFT Kemenperin dalam kelola sampah ex produk industri berkemasan yang berahir jadi sampah, sekaitan Extanded Produsen Responsibility (EPR). Intinya adalah EPR itu berada dalam dekapan UUPS, mari kita perhatikan regulasinya sebagai berikut:
Dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) pada Pasal 15, bukan berarti produsen hanya wajib mengelola sampah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Tapi termasuk yang dapat di daur ulang atau dimanfaatkan kembali.
Makanya dalam membaca atau mengaplikasi regulasi terlebih UUPS sangat perlu dibaca tuntas, termasuk penjelasannya. Pasal 15 sangat jelas diurai dalam penjelasan UUPS dan melalui Pasal 12,13,14 dan 15 Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (PP. 81/2012) sebagai turunan utama UUPS.
Dalam mengatur dan mengaplikasi Pasal 15 yang sekaitan dengan kewajiban produsen atau bahasa kerennya disebut Extended Produser Responsibility (EPR) atau Corporate Social Responsibility (CSR) haruslah memperhatikan PP. 81/2012. EPR adalah CSR yang diperluas. Jadi harus dijalankan kerena akan merusak usahanya sendiri, karena mempermainkan kewajibannya.Â
Baca Juga:Â Bank Sampah, EPR, dan Kantong Plastik Berbayar
Kalau perusahaan selalu berkelit terhadap kewajiban mengelola ex produknya, tentu akan merugikan sendiri perusahaan yang bersangkutan. Karena masalah CSR dan EPR adalah kewajiban. Menghindari kewajiban, yakin akan berefek pada pemasaran produknya sendiri.
Apalagi EPR, pemerintah memberi kebijakan untuk memasukkan harga kemasannya dalam kesatuan harga produk. Hanya saja harga kemasannya harus disetor terlebih dahulu kepada pemerintah bersamaan suplier produknya ke pasar. Sementara CSR akan dikeluarkan di ahir tahun setelah perusahaan menghitung untung-ruginya. Begitu bahasan sederhananya antara CSR dan EPR.