Sementara era modern atau milenial ini, sudah jelas dan sangat terasa kekerabatan itu hilang ditelan hedonisme. Hanyut oleh keramaian kota. Semuanya berlandaskan materi dan kepentingan duniawi. Â Hal itu sudah tidak menjadi perbedaan yang mencolok antara kampung dan kota, kondisinya sudah sama.
Sedikit penulis ingin bernostalgia masa kebersamaan sahabat-sahabat SMP dan SMA tersebut diatas. Semoga teman-teman saat kebersamaan di kampung, bisa ikut membaca artikel kocak tapi nyata ini.
Sepulang shalat berjamaah, kita tidak langsung pulang kerumah, tapi masih melanjutkan kongko bareng di satu tempat, bisa saja di warung (waktu itu belum dikenal istilah cafe). Tempatnya bergantian dan tidak selalu satu tempat saja. Rumah antar teman bisa saja menjadi giliran tempat pertemuan.
Dalam kongko bareng tersebut, gantian saling menyuguhkan makanan. Tapi sumber perolehan makanannya yang sedikit kocak. Supaya lebih menyentuh sedikit rasa kebenaran nostalgia ini, Â penulis akan menyebut nama teman atau sahabat akrab se kampung. Â Agar yang bersangkutan bisa mengenang kembali.
Beberapa nama teman yang penulis akan tulis, saat ini menduduki jabatan penting di daerah atau di kampung penulis sendiri tersebut. Ada yang sudah jadi Bupati, Kepala Dinas atau instansi dan sangat kurang yang memilih menjadi pengusaha, seperti pekerjaan penulis saat ini di bidang percetakan dan persampahan.
Apa kejadian kocak itu, misalnya pilihan tempat di Rumah A. Herman (saat ini menjadi Kadis Pendapan Daerah Bone). Bila tidak punya menu ringan, harus siapkan makanan berat. Misalnya harus potong ayam.
Sama seperti nostalgia buah mangga, karena tidak mau ribut atau ketahuan mengambil buah mangga di pohonnya langsung, karena takut pada orang tua Sahabat A. Fahsar yang sudah jadi Bupati Bone saat ini. Mangga muda dan ikan bakar sangat enak jadi menu dalam Bulan Ramadan atau Hari biasa pada bulan yang lain. Â
Kenapa foto ikan dan mangga penulis tampilkan karena banyak kesan atau kenangan yang tersimpan dalam buah mangga dan ikan bakar ini. Karena dilarang mengambil mangga bila tidak matang, padahal kita suka cicipi bila mangganya masih muda. Maka terpaksa disiasati atau mencuri mangga sendiri...hehehe
Bagaimana cara mengambilnya, satu orang yang manjat dan lainnya menunggu dibawah dengan menadah mangga tersebut pakai sarung yang dipakai saat shalat tarawih. Sarung tidak lepas sampai pulang ke rumah untuk istirahat atau makan sahur.
Kalau tiba giliran di rumah penulis, ya disiapkan pisang goreng. Karena kebetulan memiliki kebun pisang di sekitar rumah. Begitu terus bergilir dari beberapa rumah sahabat masa di kampung halaman yang tidak dapat disebut satu persatu namanya.