Namun yang pasti, seluruh pemda yang masuk wilayah pembangunan yang tercantum dalam Perpres No. 35 Tahun 2018 tersebut. Tidak ada yang mampu banyar. Jakarta saja sebagai perbandingan, memiliki tipping fee hanya sekitar Rp. 125.000 per ton. Â
Terhadap Permen LHK No. P. 24/2019 tersebut hanya bersifat rekomendir KLHK ke Menteri Keuangan untuk dibantu oleh pemerintah pusat. Itupun tidak menjamin. Jadi Permen LHK tersebut, sama saja "pemanis" atau "penarik" minat program PLTSa bagi daerah.Â
Jelas hal tersebut akan merugikan Pemda dan PLN karena harga listriknya juga rendah. Pada ahirnya yang menanggung beban itu adalah rakyat. Rakyat yang akan mengembalikan investasi pengusaha atau investor.Â
Perusahaan siapa yang menolak bila diberi peluang dan kemudahan seperti itu. Bukankah hal tersebut sarat diduga ada permainan antara oknum pemerintah dan investor ?Â
Harap KPK dengan tegas mengambil sikap untuk menyelidiki dan memeriksa masalah dugaan penyalahgunaan wewenang atas pembangunan PLTSa di 12 Kota itu.Â
Baca Juga:Â Pro Kontra PLTSa dalam Penanganan Sampah di Indonesia
Pemerintah melalui KLHK dan Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, sepertinya tidak berpikir panjang - pro rakyat - bila sebaiknya dana sebesar itu dikonversi ke pengelolaan sampah kawasan dengan membangun infrastruktur bank sampah disetiap desa atau kelurahan.Â
Hal Perpres No. 35 Tahun 2018 Tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (12 Kota).Â
Menurut penulis, bahwa Perpres No. 35 Tahun 2018, cacad demi hukum karena nampak pemerintah terlalu memaksakan keadaan dan tidak menelaah. Kenapa Mahkamah Agung (MA) mencabut Perpres PLTSa sebelumnya. Ada apa ?Â
Perlu diketahui bahwa Perpres No. 35 Tahun 2018 ini merupakan reinkarnasi dari Perpres No. 18 Tahun 2016 Tentang PLTSa (7 Kota) telah dicabut oleh MA pada tahun 2017 atas gugatan Judicial Review (JR) oleh penulis bersama Komunitas Tolak Bakar Sampah.
Baca Juga:Â Solusi Sampah Indonesia Dalam Kehampaan Solusi