Baca Juga:Â Tanpa Corona, Pengelola Sampah Wajib Mendapat Insentif Pajak
Ketidakstabilan bahan baku sampah, tentulah sangat mempengaruhi produk kreatifitas "efek ekonomi" yang berimplikasi pada pemenuhan bahan baku produksi dan pemasaran. Pasti akan mempengaruhi harga, atau dengan mudah dipermainkan harganya oleh industri daur ulang, melalui perwakilan bisnisnya di daerah-daerah. Bahkan akan berimplikasi munculnya impor sampah kertas dan plastik yang saling memanfaatkan suasana.Â
Maka pengelola bank sampah membutuhkan sebuah wadah atau lembaga ekonomi yang bisa mensinergikan antar bank sampah, pemulung, pelapak atau masyarakat dalam wilayahnya untuk memudahkan perolehan bahan baku produksi dan pemasaran. Tentu bila mengacu pada Permen LH No. 13 Tahun 2012 tersebut, pengelola sampah termasuk bank sampah haruslah dipayungi badan usaha koperasi.
Maka sebuah keniscayaan antar pengelola bank sampah memiliki payung usaha yang merupakan lembaga hukum ekonomi (profit oriented) berupa "primer" koperasi tersendiri yang dimiliki secara bersama oleh masyarakat, pemulung dan bank sampah sebagai fungsi sosial yang bergerak secara nir laba atau non profit oriented (berbentuk yayasan) yang tidak mengejar laba namun berefek ekonomi yang bisa menyejahterahkan diri mereka dan keluarganya.
Baca Juga:Â Di Mana Komitmen Presiden Jokowi dalam Menjalankan Regulasi Sampah?
GiF Tetap Eksis Melawan Ketidakadilan ?
Permainan kotor oknum penguasa pusat dan daerah bersama lembaga swadaya sangat transparant atau fulgar didepan mata. Umumnya mereka saat ini tiarap dan mungkin sudah merasakan dirinya sebagai penghianat bangsa dan rakyat.Â
Mereka berani karena dilaksanakan secara berjamaah, dan belum ada yang berani melawan praktek tersebut secara terbuka. Kecuali Green Indonesia Foundation (GiF) yang terang-terangan mengangkat bendera perlawanan kedzaliman yang dilakukan oleh oknum penguasa dan pengusaha serta unsur lembaga swadaya yang tidak beretika dan bermoral. Selalu saja menerbitkan dan menjalankan kebijakan yang parsial dan semu.
Salah satu contoh nyata permainan itu adalah kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB), karena kewalahan didesak oleh GiF, lalu dirubah menjadi Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG). Kebijakan yang terselubung "berbalut peduli lingkungan" itu hanya melalui beberapa kali terbit Surat Edaran Dirjen PSLB3-KLHK (2015-2018) dan lalu kemana uang KPB-KPTG yang jumlahnya triliun antara tahun 2016-2020 ?
Apakah pengelola KPB-KPTG terdesak  ? Ya, maka kemudian dimunculkan issu plastik yang berjudul "ramah lingkungan", itu hanya strategi murahan nan licik. Sangat jelas munculnya kebijakan larangan kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik yang dibungkus dengan embel-embel plastik sekali pakai (PSP) itu nyata atas dorongan PSLB3-KLHK (baca dan foto ilustrasi diatas: Lokakarya yang dilaksanakan oleh Direktorat Pengelolaan Sampah PSLB3-KLHK di Banjarmasin tanggal 2 April 2018 didukung oleh lembaga swadaya dan diduga ada pengusaha sponsor ).