Banyak sudah menjadi penumpang gelap dan memanfaatkan indikasi kasus KPB-KPTG ini sejak tahun 2016. Seperti plastik jenis oxium yang mengklaim dirinya ramah lingkungan. Padahal tidak ada jenis plastik apapun yang ramah lingkungan dan mampu terurai tanpa mikroplastik. Semua jenis plastik mengandung atau menyisakan mikroplastik.Â
Penumpang gelap lainnya misalnys proyek imposible aspal mix plastik, program gerakan insidentil atas olah sampah oleh berbagai pihak. Termasuk pemda ikut meramaikan sekaligus memanfaatkan issu plastik ini agar borok pengelolaan sampah di daerah tidak tercium oleh aparat penegak hukum. Setidaknya tetap melanggengkan pengelolaan sampah di TPA.Â
Termasuk ada asosiasi besar di Indonesia  yang ingin ikut berenang dalam lumpur maksiat atau ingin turut ramai memanfaatkan carut-marut KPB-KPTG dengan mengorbangkan lingkungannya sendiri. Parah benar  issu plastik ini sehingga terjadi politik belah bambu.Â
Akibat semua itu, terjadilah kehampaan solusi yang justru kebijakannya tidak bersolusi, malah akan lebih merusak wajah tata kelola sampah atau waste manajemen Indonesia. Karena semua pihak seakan terstruktur rapi membohongi masyarakat, karena hampir semua komponen bersatu dalam kegelapan pada ketidakpatuhan terhadap regulasi UUPS.
Pemda kabupaten dan kota pasti senang-senang saja dalam kondisi ini karena pihak  PSLB3-KLHK memang mendorong sebuah solusi semu terhadap larangan penggunaan plastik sekali pakai (PSP) atau kantong plastik, styrofoam dan sedotan plastik.Â
KLHK nampak justru terbaca atau seakan "sengaja" tidak memahami masalah atau mungkin lebih tepat dikatakan hanya ingin memutar-balik fakta kebenaran agar misteri KPB-KPTG tidak terungkap. Tapi justru sesungguhnya masalah ini yakin tidak akan bisa lolos untuk dibiarkan tanpa melalui sebuah pertanggungjawaban kepada rakyat dan hukum yang berlaku.
Kenapa demikan ?
Karena kalau UUPS atau kebijakan yang dikeluarkan itu dijalankan dengan baik dan benar untuk pengelolaan sampah di sumber timbulan sampah, maka secara otomatis sampah akan di kelola oleh masyarakat sekitar 80% Dan sisanya sekitar 20% berupa residu ke TPA landfill.
Artinya dana-dana pengelolaan dan pengolahan sampah baik berasal dari APBN/D, CSR maupun dana hibah lainnya itu sebagian besar jatuhnya pada masyarakat. Tidak ada lagi potensi bermain untuk menjadikan dana sampah yang banyak sumbernya tersebut sebagai bancakan korupsi para penguasa dan pengusaha mitra yang mendukungnya.
Termasuk bila sampah dikelola pada sumber timbulannya tersebut, maka sampah jelas berkurang ke TPA, paling banyak sekitar 20% residu sampah yang tidak bisa dikelola oleh masyarakat di sumbernya. Selanjutnya menjadi kewajiban pemerintah dan pemda untuk mengelolanya di TPA Control Landfill untuk daerah kecil-sedang atau Sanitary Landfill untuk kota besar-metropolitan.
Sementara banyak sumber pembiayaan sampah mulai dari pengumpulan, pengangkutan sampai pengelolaan di TPA atau pada Pusat Daur Ulang (PDU) yang bergerak dibangun oleh pemerintah yang seakan sengaja dibuat kabur agar mudah dipermainkan alias menjadi bancakan korupsi oknum pejabat birokrasi pusat dan daerah.