Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Pro Kontra PLTSa dalam Penanganan Sampah di Indonesia

2 Februari 2020   15:05 Diperbarui: 2 Februari 2020   15:07 1524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Penulis sebagai narasumber RDPU DPD RI pembahasan RUU atas revisi UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Gedung Nusantara V Senayan Jakarta (22/1/20). Sumber: Dok. DPD-RI

"Janganlah berani mencoba masuk menelaah solusi tata kelola sampah atau Indonesia Waste Management, bila tidak berjiwa entrepreneurship serta berlapang dada keluar dari kepentingan bisnis sendiri atau kepentingan bisnis kelompok" Asrul Hoesein, Founder AH & Partner. 

Ketika issu Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) kembali marak diperdebatkan, sejak tahun 2016 sampai masuk ke awal tahun 2020. Terlebih setelah penulis meletakkan pernyataan "status" di medsos (facebook dan twitter) pada tanggal 28 Januari 2020. "-GiF- akan mendorong PLTSa Regionalisasi untuk solusi sampah - Fa. AH & Partner-"

Seketika itu banyak email dan inbox menghubungi penulis dengan mempertanyakan sikap dan pernyataan tersebut. Karena sebelumnya menolak proyek PLTSa. Mereka menganggap penulis tiba-tiba balik mendukung PLTSa. Sebenarnya bukan menolak PLTSa tapi menolak pembakaran sampah melalui teknologi "murni" incenerator. 

Karena sesuai kondisinya PLTSa bisa dibangkitkan (baca: bahan bakar) dari berbagai macam teknologi dan sistem pengelolaan sampah berbasis kawasan atau dengan berpola usaha inti-plasma sesuai regulasi persampahan. Utamanya pada UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) dengan pola desentralisasi dan bukan pola sentralisasi. 

Namun ketika Nur Rahmad Ahirullah Nara (salah seorang penggiat dan pemerhati sampah) di Surabaya Jawa Timur share status penulis di salah satu WAG Diskusi Buku Bank Sampah, dimana penulis sebagai admin tunggal disana yang beranggotakan dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) dalam bidang persampahan, maka ramailah debat tersebut.

Tanggapan lebih meriah lagi, ada pro dan kontra atas sikap penulis mendukung PLTSa tersebut, penulis maklum dan sudah menduga sebelumnya. Berarti benar ada oknum elit dibalik issu plastik ramah lingkungan dengan muatan bercampur aduk seperti KPB-KPTG, Aspal Mix Plastik, usaha daur ulang versus plastik oxo, PLTSa dan permainan regulasi. Karena cuma penulis yang disorot habis. Kelihatan subyektifitas keberpihakan pada oknum tertentu. 

Beberapa elit negeri "santun" Indonesia ini yang secara tersirat menohok penulis seakan berkedok atau mungkin bermaksud menyebut penulis "memanfaatkan" kondisi atas nama rakyat. Belajarlah dulu di luar sana memahami sesuatu agar lebih cerdas lagi dan berkarakter yang moderat, lalu masuk ke ranah "dunia persilatan" persampahan yang diobrak-abrik oleh penyelenggara negara dan daerah sendiri. 

Waspadalah menulis-lisan dan jangan jadi sampah ditengah sampah. Sampah itu berkah tapi misteri. Hati-hatilah karena orang atau manusia akan tetap berada secara status quo di asfala safilin, kecuali jika dia atau kita beriman dan beramal saleh. Wallahualam.

Bagaimana kira-kira bila penulis balik mendukung Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) atau Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) yang dijalankan oleh Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) sesuai surat edaran dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan dukungan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dan Yayasan Lembaga Konsumen Nasional (YLKI). 

Mungkin KPB-KPTG lebih ramai pro kontranya dibanding PLTSa, karena PLTSa tidak lebih besar merugikan rakyat dan industri daur ulang dibanding KPB-KPTG. KPB-KPTG malah sesungguhnya lebih menguntungkan dalam mengawal waste management. 

Sebagaimana Fakta beberapa sahabat yang berada di asosiasi atau institusi lain yang mendukung KPB-KPTG berseberangan dengan penulis. Penulis tetap menolaknya, sebelum pelakunya dengan jujur dan terbuka mempertanggungjawabkan dana-dana yang telah dipetik pada masyarakat sejak 2016 sampai 2020. Jumlahnya pasti sudah triliunan rupiah. 

Baca Juga: Pengelolaan Sampah Masih Buruk dalam 100 Hari Jokowi Maruf

Pertayaannya "Kenapa tidak ada yang belajar dari kegagalan demi kegagalan Jakarta dalam membangun PLTSa ?"

Ilustrasi: Kondisi TPA Tamangapa Kota Makassar, Sulawesi Selatan dan tidak memenuhi syarat untuk membangun PLTSa (15/1/20). Sumber: Dokpri.
Ilustrasi: Kondisi TPA Tamangapa Kota Makassar, Sulawesi Selatan dan tidak memenuhi syarat untuk membangun PLTSa (15/1/20). Sumber: Dokpri.
Sedikit lucu dan aneh Indonesia, beberapa kolega (sebut namanya X, Y, Z) menyorot langkah penulis sebagai pemerhati regulasi sampah mendukung pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) dalam membangun PLTSa dengan sebuah inovasi berbasis regulasi atau bermaksud melakukan sebuah terobasan dan perubahan agar pemerintah dan pemda termasuk investor jangan menuai kerugian dalam kerakusan dan kebodohan dalam sikapi sampah melalui pengembangan energi berbasis PLTSa dengan atas nama ramah lingkungan. 

Lucunya di mana? Saat penulis menggugat dan menolak rencana pemerintah dan pemda, Xyz skeptis dan antipati. Penulis mencoba melakukan tindakan paradox dengan balik arah "strategi melingkar" mendukung pemerintah dan pemda, Ternyata Xyz tetap skeptis dan antipati dan malah memilih memperlihatkan sikap prontal berhadap-hadapan dengan penulis. 

Koreksi dan kritis itu halal, tapi fahami masalahnya terlebih dahulu, agar jangan terjebak dalam kebodohan. Kelihatan semua terjebak dalam strateginya sendiri yang tidak berkarakter dan sangat kental pada subyektifitas kepentingannya. Mereka pada bercermin dalam dirinya sendiri. Kelihatan sebuah ketakutan besar yang menyelimutinya. Nampak sangat kurang memiliki ide dan idealisme. 

Hampir disetiap momentum, penulis selalu mengingatkan dan mengatakan bahwa "Janganlah mencoba masuk menelaah tata kelola sampah atau waste management, bila tidak berlapang dada keluar dari kepentingan sendiri atau kepentingan kelompok" Bila masih punya bisnis berkaitan langsung dengan sampah atau ada hubungan emosional kental dengan stakeholder sampah, Anda pasti gagal dan subyektif bila tidak keluar dari zona nyaman. Keluarlah dari pagar masalah, bila ingin melihat masalah secara obyektif.  

Baca Juga:
Jalan Panjang Proyek ITF, dari Era Foke sampai Anies
Para Pemulung Bantargebang Tak Setuju PLTSa

Makanya, kunci keberhasilan dari setiap urusan dunia adalah "miliki jiwa usaha atau entrepreneurship" Apapun profesi Anda, baik itu pejabat negara atau birokrasi, akademisi, praktisi, pengelola asosiasi, pengelola LSM/NGO, termasuk pengelola dan pengusaha sampah. Juga terhadap pengusaha industri berbasis sampah. Ingat bahwa sampah itu berkarakter dan unik sekaligus misteri.

Termasuk para pengusaha sendiri terlebih pengusaha yang berasosiasi. Kenapa? Karena seorang pengusaha atau komunitas asosiasi belum tentu memiliki jiwa usaha atau entrepreneurship itu. Bisa jadi hanya memiliki jiwa dagang, yang sifatnya hanya ingin atau bernapsu menambah yang telah ada dan bukan mengadakan yang belum ada.

Hal tersebut yang menjadikan seseorang serakah atau ramak bila tidak berkarakter sebagai seorang entrepreneurship. Maka akan melakukan korupsi atau mendzalimi dirinya. Sesungguhnya bukan mendzalimi orang lain.

Ilustrasi: Penulis sebagai narasumber RDPU DPD RI pembahasan RUU atas revisi UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Gedung Nusantara V Senayan Jakarta (22/1/20). Sumber: Dok. DPD-RI
Ilustrasi: Penulis sebagai narasumber RDPU DPD RI pembahasan RUU atas revisi UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, Gedung Nusantara V Senayan Jakarta (22/1/20). Sumber: Dok. DPD-RI
PLTSa Bukan Wacana Baru

Sekedar diketahui bahwa proyek PLTSa ini memang sejak lama menjadi polemik di Indonesia, bukan hal baru. Jakarta yang mulai mengangkat wacana ini sejak Gubernur Sutiyoso. Jakarta menyebutnya atau akan membangun Intermediate treatment facility atau ITF.

ITF merupakan fasilitas pengolahan sampah di dalam kota yang berbasis pada konsep waste to energy. Dalam hal ini, yaitu listrik. ITF bekerja dengan membakar sampah di sebuah ruangan tertutup bernama insinerator dengan suhu 1000 derajat celcius.

ITF dilanjutkan oleh Gubernur ke-13 Jakarta, yaitu Fauzi Bowo alias Foke pada 2009, dengan nilai pembangunan Rp 1,3 triliun. Instalasi ITF-PLTSa tersebut rencananya akan didirikan di tiga daerah, yakni Cakung, Sunter, dan Marunda se DKI. Jakarta.

Proyek tersebut sebetulnya telah dilelang, namun penentuan pemenang lelang tidak kunjung diputuskan hingga pergantian Gubernur dari Fauzi Bowo ke Joko Widodo alias Jokowi dan seterusnya sampai sekarang dan merambah ke daerah-daerah seiring gemuruhnya issu plastik. Saling memanfaatkan dalam misteri KPB-KPTG. 

Paling parah dan sangat miris adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah merevisi Perda No. 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah menjadi Perda No. 4 Tahun 2019, terbaca dalam perda revisi  tersebut bermaksud hanya memberi ruang atau alas hak terhadap pengembangan ITF-PLTSa di Jakarta. Jakarta telah menjungkir-balikkan Perda Sampah No. 3 Tahun 2013 yang sudah cukup bagus. 

Sebagaimana sudah dijelaskan pada tulisan sebelumnya "Menyoal Subyektivitas Anies Merevisi Perda Sampah Jakarta" yang mungkin dinilainya bahwa PLTSa ini tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Gubernur Anies nampak sangat bingung menyikapi sampah Jakarta, padahal penulis secara langsung sudah memberi masukan yang komprehensif. Tapi rupanya Anies tergoda oleh orang-orang disekelilingnya. 

Faktanya dalam Perda No. 4 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Sampah, sudah tidak menyebut dan menulis atau tidak mengingat lagi adanya Perpres No. 35 Tahun 2018 Tentang PLTSa 12 Kota. Malah kembali mengingat Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah yang telah dicabut tahun 2016 oleh Menteri Dalam Negeri.

Baca Juga:
Bom Waktu TPST Bantargebang di Balik Ribut Anies-Bestari-Risma soal Sampah
Penjelasan Risma soal Duduk Perkara Pengelolaan Sampah yang Berujung Komentar Anies Baswedan

Tapi wacana ITF-PLTSa puncaknya setelah terbit Perpres 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar (7 Kota).

Perpres No. 18 Tahun 2016 tersebut menuai banyak resistensi. Koalisi Nasional Tolak Bakar Sampah pada tanggal 19 Juli 2016 mengajukan permohonan uji materiil atau judicial review terhadap Perpres No. 18 Tahun 2016 dengan Nomor Perkara 27 P/HUM/2016 dikabulkan Mahkamah Agung. Permohonan yang diajukan oleh 15 individu dan 6 LSM dan dikabulkan pada 2 November 2016. Salinan amar putusan para hakim yang diketuai oleh Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum.

Setahun kemudian pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan mendapat dukungan Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menkomaritm) menerbitkan lagi Perpres No. 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan di 12 Kota.

Mungkin KLHK dan Menkomaritim tidak juga sadar bahwa Perpres No. 35 Tahun 2018 tersebut merupakan kebijakan reinkarnasi dari Perpres No. 18 Tahun 2016 yang telah dicabut oleh Mahkamah Agung. Jadi sangat jelas Perpres No. 35 Tahun 2018 masih bermasalah. Apakah Presiden Jokowi memahami kekeliruan kebijakan ini?

Kenapa pula pemerintah dan pemda tidak menelaah atau meneliti secara mendalam, apa dan bagaimana PLTSa dari berbagai sudut pandang. Baik dari sudut regulasi, sosial, budaya, geografis, teknologi dan ekonominya. Kenapa memaksakan keadaan itu? Apa ada kepentingan lain yang menghimpit PLTSa.

Termasuk Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga pemerintah Non-Kementerian yang mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengkajian dan penerapan teknologi. Tiba-tiba dengan kekuasaannya membangun PLTSa di TPA Bantargebang Kota Bekasi dan bisa disebut proyek PLTSa-BPPT itu gagal. Bagaimana nasib milliaran uang rakyat disana.

Belum lagi PLTSa ini dianggap bermasalah terhadap kesiapan daerah untuk memenuhi tipping fee yang cukup tinggi atas permintaan investor atau pengembang. Benarkah pengembang yang meminta dana tipping fee yang besar itu? Sesungguhnya tipping fee ini bukan soal kemampuan memenuhinya. Tapi ada indikasi merampok uang rakyat melalui tipping fee.

Baca Juga:
Risma: Surabaya Menunggu 20 Tahun Terbebas Masalah Sampah
Saat Jakarta Belajar Pengelolaan Sampah ke Surabaya

Ilustrasi: Pengelolaan sampah di Indonesia tetap harus berpola circular economy berbasis masyarakat. Sumber: Dokpri.
Ilustrasi: Pengelolaan sampah di Indonesia tetap harus berpola circular economy berbasis masyarakat. Sumber: Dokpri.
Memahami Nomenklatur PLTSa

PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) adalah sebuah fasilitas pembangkit listrik yang menggunakan sampah sebagai bahan bakarnya. Motor, Mobil bahan bakarnya bensin atau solar, Pesawat terbang bahan bakarnya avtur, sepeda bahan bakarnya tenaga manusia (makan/minum), listrik matahari atau solar cell bahan bakarnya adalah sinar matahari. 

Bakar sebenarnya tidak selalu identik (konotasi) dengan bakar pakai api incenerator??? Tapi bakar bisa berarti penggerak sebuah alat (sarana prasarana) untuk tujuan tertentu atau bertujuan menjadi pembangkit energi listrik. 

Begitu ngototnya pemerintah ingin "memaksa" membangun PLTSa tanpa perhitungan matang dan demi merangsang daerah agar mau membangun atau bekerja sama dengan pihak swasta membangun PLTSa, maka pemerintah pusat memberikan bantuan biaya pengolahan sampah (tipping fee) sampai angka sebesar Rp.500.000/ton sampah.

Bentuk dorongan pemerintah adalah dengan mengeluarkan Permen LHK No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/5/2019
Tentang Bantuan Biaya Layanan Pengolahan Sampah Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Adanya Permen LHK No. P.24/2019 tersebut, pemda janganlah terlalu berbesar hati seakan otomatis diberi subsidi. Karena Permen LH tersebut hanya bersifat rekomendasi dari Menteri LHK untuk daerah ke Kementerian Keuangan. Artinya sangat tidak mungkin secara otomatis pemda diberi subsidi sekitar Rp. 300.000 sampai Rp. 500.000 per ton. 

Sementara sampah bila dikelola dengan berbasis circular economy bisa membiayai dirinya, bukan dibiayai dengan menguras uang rakyat. Justru bisa menghasilkan manfaat dan menciptakan lapangan kerja secara massif tersebar sesuai kawasan timbulan sampah yang ada.

Sebagian besar orang mengidentikkan PLTSa sama dengan bakar sampah (belum tentu). Padahal tidak semua PLTSa itu membakar sampah. Bisa dengan teknologi Biogas (biodigester), briket, hidrotermal, pirolisis dan lainnya. Makanya pada Singkatan PL"T"Sa ada huruf "T" artinya "tenaga" bukan bakar. Semoga difahami agar tidak terjadi debat kusir. Seperti anak ayam kehilangan induk.

PLTSa paling aman dengan menggunakan teknologi biodigester dan bukan incenerator, atau sampah diolah menjadi Energi listrik dengan menggunakan biodigester atau menangkap metan sampah. Teknologi ini sangat sesuai dengan karakteristik sampah dan karakteristik kehidupan rakyat Indonesia.

PLTSa berbasis biogas keuntungannya berlipat ganda bagi masyarakat, pengusaha dan pemerintah. Karena selain memperoleh energi biogas, juga akan mendapat bonus pupuk cair dan pupuk padat atau media pembenah unsur hara tanah yang ditelan habis oleh pupuk kimia. 

Surabaya, 2 Februari 2020

Keterangan YouTube: saat penulis berkunjung ke PLTSa TPA Benowo Surabaya, Jawa Timur (29/9/19). Sumber: Dokpri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun