Kebijakan Extanded Produsen Responsibility (EPR) akan diberlakukan efektif 2022. Pemerintah harus mendorong pemda membangun sistem pengelolaan sampah yang benar. Setiap desa dan kelurahan harus memiliki satu bank sampah, karena akan mendapat tambahan tugas baru sebagai agent EPR untuk mewakili pemerintah dan pemda dalam pelaksanaan EPR sekaligus melakukan monitoring dan evaluasi.
Pada tahun 2012 Pemerintah Republik Indonesia cq: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) telah mengadopsi bank sampah konvensional sebagai role model tata kelola sampah (waste management) Â melalui Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah. Model itulah dijadikan sebagai sistem atau role model untuk mengawal gerakan perubahan paradigma kelola sampah.
Bank sampah adalah sebuah lembaga kegiatan berbasis masyarakat untuk menjadi garda terdepan atau wakil pemerintah dalam membangun sistem pengelolaan sampah melalui gerakan 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle). Pemerintah melalui bank sampah berkewajiban mendorong dan menumbuhkembangkan serta meningkatkan kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah di Indonesia.
Model bank sampah versi regulasi tentu sangat jauh berbeda progresnya dengan bank sampah konvensional versi masyarakat sebelum di adopsi oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pemda). Bank sampah konvensional orientasi profit sementara bank sampah versi regulasi non profit, artinya efek ekonomi yang timbul dari kerja sosialnya akan dibentuk lembaga bisnis tersendiri dan berbadan hukum. Jadi sangat jelas perbedaan bank sampah versi regulasi dan bank sampah konvensional.
Bank sampah versi konvensional murni sebagai usaha mandiri rakyat, layaknya sebagai usaha pengelolaan sampah secara mandiri tanpa ikatan resmi atau tidak diberi bantuan atau fasilitas secara khusus dan langsung oleh pemerintah dan pemda. Jadi sama saja seperti usaha mandiri yang dibangun secara sukarela oleh masyarakat atau semacam usaha pelapak barang material ex sampah, namun ada yang mengklaim berbasis masyarakat, padahal tidak demikian adanya.Â
Progres keanggotaan bank sampah konvensional hampir pasti tidak bertambah dan stag bagaikan kepemilikan usaha pribadi saja. Sementara keanggotaan bank sampah versi regulasi mutlak bertambah karena masyarakat diwajibkan menjadi anggota bank sampah dalam satu desa atau kelurahan. Masuknya anggota itu secara bertahap sesuai jangkauan atau pasca sosialisasi dan edukasi yang telah dilaksanakan oleh pengelola bank sampah. Hal ini menjadi barometer keberhasilan gerakan perubahan dalam kelola sampah.
Jadi janganlah heran bila keberadaan bank sampah versi pemerintah atau regulasi sejak 2012 sampai sekarang terkesan sebagai usaha bisnis pelapak material sampah. Karena pemerintah sendiri tidak tegas memberi garis merah atau pemisah untuk menyikapi regulasi atas keberadaan bank sampah sebagai wakil pemerintah dan pemda pada garda terdepan dalam merubah paradigma kelola sampah di masyarakat.Â
Sebagaimana amanat regulasi sampah yaitu Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) khususnya pada Pasal 13 dan Pasal 45 yang pada intinya mewajibkan adanya pengelolaan sampah di kawasan atau pada sumber timbulan sampah. Namun tetap berada pada satu kesatuan sistem terintegrasi dengan program pemerintah dan pemda yang harus dijalankan secara terstruktur dan massif di seluruh Indonesia.
Karena pengelolaan sampah tidak bisa terlepas dari pemerintah dan pemda. Maka atas aplikasi Pasal 13 dan 45 UUPS oleh masyarakat dan pengelola kawasan, maka pemerintah dan pemda wajib memberi insentif dan disinsentif kepada pengelola sampah sesuai Pasal 21 UUPS. Selanjutkan pemerintah diwajibkan melaksanakan Pasal 44 UUPS untuk membackup residu sampah dari pelaksanaan Pasal 13 dan 45 tersebut.
Termasuk turunan UUPS berupa Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga, Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah (telah dicabut tanpa alasan, maka permendagri ini perlu segera diterbitkan kembali), Permen LH No. 13 Tahun 2012 Tentang Pedoman Pelaksanaan Reduce, Reuse dan Recycle melalui Bank Sampah dan Permen PU No. 3 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah sejenis Sampah Rumah Tangga.
Berdasar pada regulasi tersebut diatas, jelas menunjukkan bahwa dalam pengelolaan sampah, pemerintah dan pemda harus mendorong pembentukan kelembagaan pengelola sampah berbasis masyarakat (baca: bank sampah) yang bersifat sosial atau nir laba dalam rangka mewakili pemerintah dan pemda sebagai pelayan rakyat untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai agent perubahan dalam tata kelola sampah.
Menjadi kewajiban pemerintah dan pemda dalam pembentukan bank sampah dan sekaligus harus melengkapi prasarana dan sarana sosialisasi dan edukasi di masyarakat serta pemerintah dan pemda menanggung segala biaya operasional yang timbul atas kegiatan dari pengelolaan bank sampah itu di setiap desa dan kelurahan.
Jadi tugas dan kewajiban pengelola bank sampah versi regulasi itu bukan semata dan utama sebagai pengelola usaha berbasis sampah yang berorientasi pada profit tapi lebih kepada kegiatan mewakili pemerintah dan pemda dalam mengidentifikasi penduduk atau jumlahdan jenis kawasan produsen sampah yang ada di wilayahnya.
Selanjutnya dari data yang diperoleh, pengelola bank sampah membuat mapping potensi sosialisasi dan edukasi serta melakukan pendampingan pelaksanaan program pengelolaan sampah di masyarakat dan kawasan.
Pada kegiatan tersebut akan tercipta pedoman pelaksanaan program pengelolaan sampah berupa master plan pengelolaan sampah desa atau kelurahan yang selanjutnya akan menjadi master plan pengelolaan sampah kabupaten dan kota.
Termasuk tugas lain dari bank sampah adalah mensinergikan program-program pemerintah dan pemda dengan perusahaan-perusahaan corporate sosial responsibility (CSR) dan perusahaan berkemasan extanded produsen responsibility (EPR) juga bermitra dengan perusahaan industri daur ulang, khususnya dalam rangka mendapat pengetahuan dan pelatihan pemilahan sampah sesuai jenis dan kebutuhan industri daur ulang, agar sampah yang dipilah dan dipilih oleh masyarakat anggota bank sampah  mempunyai manfaat dan nilai ekonomi.
Pemisahan Kelembagaan Pengelola Sampah.
Bank sampah dalam kegiatannya harus berbasis kelembagaan berbadan hukum yang sesuai perundangan yang berlaku (Pasal 8 Permen LH No.13 Tahun 2012), Permen LH ini harus diurai dalam Perda Pengelolaan Sampah provinsi, kabupaten dan kota, minimal diperjelas dalam bentuk Peraturan Bupati atau Walikota agar tidak membingungkan masyarakat dalam menjalankan roda kegiatan bank sampah. Baik secara sosial maupun kegiatan usaha atas efek ekonomi yang timbul.
Selama ini progres bank sampah pasca adopsi oleh pemerintah, nampak nyata tidak ada pemisahan kelembagaan sosial dan ekonomi dari bank sampah, sehingga banyak bank sampah mati suri karena kelembagaannya tidak jelas secara hukum.
Maka fasilitas atau jenis perbantuan dana lainnya kepada bank sampah dari pemerintah, pemda serta CSR berpontensi dipermainkan oleh oknum. Karena pemerintah dan pemda juga sepertinya membiarkan kondisi kelembagaan bank sampah di seluruh Indonesia carut marut yang tidak menentu eksistensinya.
Memang dalam fakta lapangan, ada bank sampah yang bertuan dan ada bank sampah yang tidak bertuan. Artinya ada bank sampah yang menikmati bantuan pemerintah dan CSR dan kebanyakan tidak mendapatkan apa-apa. Padahal seharusnya semua bank sampah harus difasilitasi oleh pemerintah dan pemda, sebagaimana yang termaktub dalam regulasi persampahan.
Seharusnya semua bank sampah yang berdiri dalam berkegiatan sosial ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan pemda termasuk prioritas mendapat bantuan dari CSR dan EPR. Pemerintah dan pemda harus mendorong dan memfasilitasi pendirian bank sampah. Baik dalam misi sosial maupun kegiatan atas efek ekonomi yang timbul atas pengelolaan sampah itu sendiri.
Terlebih pada tahun 2022, kebijakan EPR akan diberlakukan. Maka sebuah keniscayaan pemerintah mendorong pemda untuk membangun sistem pengelolaan sampah yang baik melalui role model tersebut. Setiap desa dan kelurahan harus segera membangun  bank sampah, karena bank sampah akan mendapat tambahan tugas baru sebagai agent EPR. Mewakili pemerintah untuk melaksanakan EPR sekaligus melakukan monitoring dan evaluasi.
Kegiatan Sosial & Ekonomi Bank Sampah.
Pengelolaan atau kegiatan bank sampah secara sosial nir laba berjalan sendiri sesuai program yang telah direncanakan pada masing-masing  wilayah kerjanya dalam satu desa dan kelurahan. Masing-masing bank sampah bisa berbeda programnya, tergantung kearifan lokal dan rencana program di setiap kawasan.
Makanya bank sampah mutlak di klasifikasi dan sertifikasi oleh asosiasi bank sampah atau pemerintah sendiri sesuai kondisi wilayahnya. Demi menghindari tumpang tindih perbantuan prasarana dan sarana pengelolaan sampah. Karena setiap kawasan bisa berbeda karakteristiknya.
Sementara efek ekonomi yang muncul dalam kegiatan tersebut disatukan pengelolaan bisnisnya dalam satu kabupaten dan kota. Karena karakteristik bisnis sampah mengharuskan gotong royong untuk meningkatkan nilai ekonomi atas pemenuhan volume atau kuantitas dalam melayani permintaan atas penjualan material bahan baku oleh usaha daur ulang yang menjadi mitra bank sampah.
Maka sangat jelas dalam regulasi sampah tersebut mengisyaratkan bank sampah dalam misi sosial, kelembagaannya berbentuk yayasan atau bisa saja direkomendasi atau dikeluarkan surat keputusan (SK) pendiriannya oleh Kepala Desa atau Kepala Kelurahan atau boleh dengan SK Bupati/Walikota secara serentak dalam satu kabupaten dan kota.
Sementara efek ekonomi yang ditimbulkan oleh kegiatan sosial bank sampah itu diwadahi oleh kelembagaan usaha berbadan hukum koperasi. Karena sifat atau karakteristik bahan baku sampah yang bercerai berai maka harus didasari usahanya dalam bentuk usaha mutual atau usaha bersama.
Usaha bersama dalam bentuk primer koperasi atau koperasi bersama berupa koperasi primer di kabupaten dan kota, koperasi sekunder di provinsi dan koperasi induk di pusat. Primer koperasi ini hanya ada satu koperasi yang beranggotakan seluruh bank sampah dalam satu kabupaten dan kota.
Pointnya adalah, kenapa bank sampah harus berbentuk yayasan atau diakta-notariskan oleh Notaris setempat berupa badan hukum yayasan atau di SK kan oleh Pemda agar jelas kegiatan sosialnya atau nir laba, wajib difasilitasi oleh pemerintah dan pemda.Â
Bank sampah wajib mendapat subsidi atau dana perbantuan dari pemerintah dan pemda serta perusahaan CSR dan EPR dengan tidak melanggar aturan perundangan yang berlaku agar tercipta mekanisme pembiayaan yang konstan berkelanjutan atau sesuai alur politik anggaran baik pada pemerintah dan pemda maupun dari pihak perusahaan atau pihak ketiga yang tidak mengikat.
Jakarta, 16 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H