Petunjuk dan amanat regulasi persampahan, khususnya pada Pasal 13 dan 45 UUPS sangat jelas mengarahkan pemilahan dan pengelolaan sampah di sumber timbulan. Serta pada Pasal 44 UUPS mengarahkan pengelolaan residu sampah di TPA, dan pasal-pasal ini wajib dilaksanakan sejak tahun 2009, setahun setelah UUPS diundangkan tahun 2008.
Banyaknya sampah yang timbul, identik dengan peningkatan kesejahteraan atau daya beli. Melarang penggunaan produk untuk menghindari sampah, sama saja menolak kenyataan atas kemampuan memenuhi kebutuhan dalam kehidupan. Sampah memang tidak perlu dimusuhi dan ditakuti, tapi diberdayakan kembali. Karena sampah dapat memberi manfaat ekonomi yang besar jika dikelola dengan baik.
Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Prinsip utama pengelolaan sampah adalah bijak menyikapi dan mengelola sampah atas sisa material produk yang telah dimanfaatkan oleh manusia yang terjadi di hulu atau pada sumber timbulannya. Dimana manusia beraktifitas, disana berpotensi timbulnya sampah. Itulah realitas kehidupan yang tidak perlu dihindari. Hadapi dan kelola sampahnya.
Makna prasa "pengurangan" dalam pengelolaan sampah bukan berarti melakukan kegiatan melarang atau menyetop penggunaan atau produksi barang. Misalnya dalam rangka menjaga bumi dari sampah plastik dengan cara melarang penggunaan kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik.
Kebijakan pelarangan penggunaan barang berbahan plastik. Itu sama saja sebuah cara hidup yang tidak berakal dan sangat dangkal berpikir dalam menghadapi realita peningkatan peradaban. Apalagi ingin menghindari plastik, sangat tidak mungkin dalam era modern yang penggunaannya sangat diperlukan dan murah.
Menolak Mengerti Regulasi Sampah
Kalimat ramah lingkungan juga terjadi plesetan makna regulasi. Seakan sisa produk tersebut diarahkan atau dipaksakan dan secara linear dibenturkan dengan bumi (baca: tanah) atau sampah dibuang ke tanah. Maka muncullah pemahaman bahwa plastik susah dan sangat lama terurai oleh tanah. Padahal sampah-sampah yang dilarang itu dapat di daur ulang dan menjadi bahan baku yang dipungut oleh para pemulung, pelapak dan industri daur ulang.
Padahal bila makna ramah lingkungan ditelisik dari UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah secara utuh dan komprehensif. Maka sampah tidak berkonotasi dengan tanah. Tapi sampah harus di kelola sehingga terjadi pengurangan sampah. Ekonomi bergerak dengan rangkaian aktifitas industri daur ulang dan pemulung serta pelapak yang beraktifitas di persampahan.
Dalam pergulatan issu plastik yang berkepanjangan ini. Rupanya terjadi pembangkangan oleh oknum penguasa, pengusaha, lembaga swadaya untuk secara bersama. Langsung atau tidak langsung diduga ada konspirasi menolak untuk mengerti makna ramah lingkungan yang berbasis regulasi. Demi kepentingan para pihak yang diduga bermasalah dalam muatan issu plastik. Banyak elemen yang mendukung pelarangan plastik, itu hanya kegiatan sesaat dengan berbasis kepentingan pribadi atau kelompoknya saja.
Coba kita tinjau asas dan tujuan dari pengelolaan sampah adalah pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Sama sekali tidak relefan dengan melarang produk berbahan plastik.
Sementara ruang lingkup pada pengelolaan sampah adalah sampah yang dikelola berdasarkan regulasi ini terdiri atas sampah rumah tangga;
sampah sejenis sampah rumah tangga; dan sampah spesifik. Tidak ada satu prasapun yang melarang menggunakan sampah plastik dalam regulasi sampah.
Perlu dipahami oleh masyarakat Indonesia bahwa sampai hari ini belum ada kantong plastik yang ramah lingkungan bila bersentuhan dengan tanah. Jadi apa yang dikampanyekan oleh kelompok tertentu selama ini bahwa ada plastik ramah lingkungan versi tanah itu bisa dipastikan adalah berita bohong atau hoax.
Justru kantong plastik yang di klaim sebagai ramah lingkungan yang berbahan oxo itu, tidak bisa didaur ulang bersama kantong plastik konvensional. Bisa ditelisik di TPA, pemulung tidak mengambil atau mengabaikan kantong plastik yang diduga ramah lingkungan itu.
Disimpulkan bahwa makna dan arah ramah lingkungan dalam regulasi persampahan adalah kurangi sampah dengan kelola sampah di sumber timbulannya. Baik itu sampah organik maupun sampah anorganik. Semua sampah harus dikelola di kawasannya dengan melibatkan full masyarakat dengan orientasi ekonomi.
Petunjuk dan amanat regulasi persampahan, khususnya pada Pasal 13 dan 45 UUPS sangat jelas mengarahkan pemilahan dan pengelolaan di sumber timbulan. Serta pada Pasal 44 UUPS mengarahkan pengelolaan residu sampah di TPA, dan pasal-pasal ini wajib dilaksanakan sejak tahun 2009, setahun setelah UUPS diundangkan.
Pasal-pasal ini merupakan basic circular economy atau basic keberadaan kelembagaan bank sampah disetiap wilayah desa atau kelurahan. Sekaligus pembuktian bahwa sampah itu adalah investasi. Bila pasal-pasal tersebut tidak dijalankan. Maka sepanjang masa, sampah terus menjadi beban rakyat dan pemerintah.
Pemerintah dan pemerintah daerah mutlak bergandengan dengan pengelola bank sampah disetiap kawasan. Bank sampahlah yang menjadi ujung tombak pemerintah dan pemda dalam melaksanakan tata kelola sampah atau waste management. Bank sampah adalah subyek dalam pengelolaan sampah, bukan dijadikan obyek permainan oleh oknum penguasa dan pengusaha.
Surabaya, 3 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H