Paling sadisnya lagi Kementerian Keuangan dengan mudahnya mengeluarkan kocek rakyat dengan memberi hadiah berupa Dana Insentif Daerah (DID) pada pemda yang berhasil menghalau kantong plastik dengan cara melarang menggunakan dan lebih parah ada pemda yang melarang memproduksi kantong plastik.
Bukan Ramah Lingkungan
Issu plastik terus menggelinding seperti gasing mainan tempo doeloe, sejak maret 2016 diduga hanya untuk menutup resistensi atau mengalihkan perhatian dari KPB-KPTG ke issu lebih luas yaitu ramah lingkungan. Tapi lagi-lagi salah memaknai ramah lingkungan yang ada dalam regulasi.
Berbagai cara dengan kemampuan oknum-oknum yang sangat luar biasa kekuatannya dan saling mendukung satu sama lain dalam ruang ketidak sepakatan secara tertulis antara penumpang resmi dan penumpang gelap. Karena masing-masing kepentingannya berbeda, namun ingin melewati jembatan yang sama.
Memang carut marut terjadi, akibat ada elit yang pergi dan ada yang datang ke kursi panas yang sama. Sungguh parah kondisi ini, karena keduanya tidak saling sapa, sepertinya saling jaga jarak. Malah dengan keluguannya mempertontonkan dirinya dalam lorong yang terang benderang disertai angin sepoi-sepoi basah. Semoga tidak basah dengan fulus yang panas. Karena bisa saja meledak pada waktu yang tidak diduga.
Oknum-oknum saling mendukung dalam produk berbeda dengan tujuan yang sama atas nama atau memplesetkan arti ramah lingkungan. Ingin memenuhi kepentingan kelompok atas nafsu monopoli dan sekaligus mengamankan dugaan abuse of power. Oknum tersebut sangat mudah terdeteksi. Karena memang senyatanya, terjadi penyalahgunaan wewenang. Ciloko kalau itu benar terjadi.
Mereka saling memanfaatkan atau terjadi adanya penumpang gelap dari issu plastik. Maka menjadi ramai dan semakin viral pelarangan kantong plastik yang ahirnya dibalut lagi dengan baju baru bermerk Plastik Sekali Pakai (PSP).
Tapi dengan memakai baju baru PSP, justru menjadikan kebijakan pelarangan kantong plastik malah lebih labil. Tentu mereka salah strategi. Karena mereka tidak sadar bahwa jenis PSP ternyata lebih banyak jenisnya mewarnai produk yang diperdagangkan.
Malah justru melemahkan posisi kantong plastik yang tidak berkategori PSP dan lagi pula kantong plastik termasuk layak daur ulang (LDU). Disini pula terjadi kegagalan proyek aspal mix plastik dengan pengadaan ratusan mesin cacah oleh Kementerian PUPR dengan maksud mendukung beberapa proyek di berbagai kota tersebar di Indonesia. Semuanya gagal termasuk proyek PLTSa.
Sesungguhnya KLHK dan kementerian lainnya serta pemda yang mengeluarkan larangan kantong plastik sangat keliru dalam memaknai atau menyebut PSP tidak ramah lingkungan. Seharusnya mereka mesti menggantinya dengan kalimat "tidak ramah tanah". Buah simalakama terjadi, senjata makan tuan dan puan sendiri. Bicara ramah lingkungan tapi maknanya ramah tanah.
Seharusnya memakai istilah "tidak ramah tanah" bukan "ramah lingkungan", kalau alasannya plastik itu bisa hancur dengan masa 500 tahun atau berapa ratus tahun baru hancur diatas tanah. Mungkin maksudnya arahan si pemain issu plastik itu bisa hancur secara alami dalam pemaknaanya sebagai ramah lingkungan... ya bila plastik dibuang atau bersentuhan dengan tanah. Bukan karena didaur ulang. Karena kalau daur ulang, maka terjadi ramah lingkungan. Tapi mereka punya asumsi ke ramah tanah.