Mereka anggap kompasiana sebagai tempatnya penulis pemula... Hehe. Artinya saya dianggap penulis pemula. Walau saya tahu mereka habis akal bila bicara sampah. Tapi semua saya tidak peduli. Semua saya anggap motivasi, termasuk sorotan Mba Maria, saya anggap motivasi agar saya harus lebih belajar lagi yang bijak menerima koreksi.
Besek Bambu Bukan Pengganti Plastik
Sekedar diketahui bahwa saya tidak menolak penggunaan besek bambu, daun pisang dll dalam konteks penggunaannya secara insidentil. Tapi bila dikesankan atau akan dijadikan pengganti kantong plastik itu bukan solusi dengan alasan "ramah lingkungan" atau ingin menjaga bumi. Justru tidak akan mampu menggantinya untuk pemakaian massal. Sangat bisa diprediksi bahwa itu sebuah kemustahilan.
Belum lagi dampak negatif atas pemasukan pajak dan efek tenaga kerja bila pelarangan produk itu terjadi. Kelola sampah harus berpikir dan bertindak dengan keseimbangan antara ekologi dan ekonomi. Mana bisa besek bambu bisa mengganti kantong plastik secara umum. Jangan bandingkan di luar negeri, kantong plastik diganti kertas. Mereka memiliki daya beli yang kuat diatas rata-rata masyarakat Indonesia.
Mungkin belum dipahami bahwa solusi apa yang saya berikan terhadap pengguna besek dkk itu yang dipersepsi ramah lingkungan. Disamping tetap dibebaskan penggunaan kantong plastik, yang dipersepsi pula tidak ramah lingkungan itu.
Begini.... bagi saya tetap ada kantong plastik, namun siapa yang membawa atau memakai besek dll itu diberi ganjaran atau hadiah. Itu baru bermakna edukasi yang win-win solusi. Itu gambaran besarnya dan silakan baca beberapa tulisan saya tentang sampah pada lapak saya di Kompasiana. Banyak tulisan saya tentang sampah, silakan dipilih. Agar bisa memahami jalan pikiran saya tentang masalah sampah dan plastik. Apakah independen atau berpihak pada diri atau kepentingan kelompok tertentu.
Sedikit saya bicara progres tentang solusi yang diklaim ramah lingkungan itu seperti besek bambu, daun pisang dll. Bulan Juli lalu, saya ikut rapat di Kantor Kemenkomaritim Jakarta (23/07/19) dengan tamu rapat yang hadir adalah Bupati Biak Numfor dan beberapa stafnya. Rapat dipimpin oleh Dr. Safri Burhanuddin (Deputi IV Kemenko Maritim).
Usul saya pada Bupati Biak Numfor dalam rapat resmi itu adalah: Tolong di revisi Perbupnya tentang Larangan Penggunaan Kantong Plastik di Kab. Biak Numfor (karena Biak Numfor juga telah mengeluarkan perbup larangan penggunaan plastik).
Solusi saya adalah, biarkan toko retail modern dan pasar rakyat menyiapkan kantong plastik. Namun bila ada pembeli yang membawa Inokson (Tas Anyaman di Biak) itu diberi hadiah dan pembeli yang tidak membawa Inokson harus membayar kantong plastik.Â
Itu antara lain cara pandang saya dalam solusi pengelolaan sampah plastik yang bernilai edukatif bukan diskriminasi terhadap sebuah produk. Bukan dengan melarang penggunaan kantong plastik. Saya tidak berpikir ekologi semata, tapi juga berpikir ekonomi. Karena pada urusan sampah, sarat dengan nilai ekonomi bila kita berpikir maju, bukan berpikir instan dan sederhana saja. Banyak orang berpikir mundur dalam menyikapi makna ramah lingkungan dan ada pula yang memanfaatkan situasi yang carut marut.
Perlu didalami bahwa solusi sampah ini bukan melarang penggunaan produk, tapi sisa dari produk yang tidak terpakai (baca: sampah) itu yang harus di kelola. Harus dipahami pula bahwa ada produk penggunaan massal dan ada pula produk hanya digunakan insidentil karena diproduksinya juga bukan massal tapi produksi rumahan kategori insidentil.