Oknum birokrasi terpancing ikut berbisnis sampah. Termasuk memanfaatkan dana-dana instan program dadakan atas nama menyelamatkan bumi.
Pada masa berbisnis sampah organik tersebut, saya terus menelaah regulasi persampahan yang ada. Jadi saya tidaklah sebatas hanya berbisnis dalam sampah.
Lebih banyak waktu saya gunakan untuk menjadi narasumber pengelolaan dan pengolahan sampah di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bahkan sampai di undang ke negara tetangga.
Sebenarnya SDM dan teknologi anak bangsa itu hebat-hebat lho, saya rasakan sampai di undang ke Malaysia, Singapore dan Korea Selatan. Hanya karena mereka ingin mengetahui bagaimana olahvsampah organik, bagaimana strategi regulasi sampah Indonesia dengan kaitan koperasi persampahan.
Berbekal pengalaman bisnis pengolahan sampah dan fakta lapangan bahwa regulasi sampah tidak dijalankan dengan semestinya. "Terpaksa" demi atas nama profesionalisme - independen - berhenti berbisnis "olah" sampah secara langsung, demi menghindari komplik kepentingan bisnis (pribadi atau kelompok) dengan kepentingan rakyat atau kepentingan umum dalam menjalankan fungsi control sosial.
Selanjutnya mendirikan lembaga swadaya non formal Green Indonesia Foundation (GIF) yang berdomisili di Jakarta. GIF hanya konsentrasi mengawal regulasi sampah, lingkungan dan pengembangan pertanian organik yang diaplikasi secara compang-camping oleh oknum pemerintah dan pemda. Juga mengawal bank sampah yang tidak berjalan pada rel sesungguhnya.
Fakta dengan dihapuskannya Permendagri No. 33 Tahun 2010 Tentang Pedoman Pengelolaan Sampah pada tahun 2016 setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan program Kantong Plastik Berbayar (KPB). Padahal permen ini sangatlah penting sebagai pedoman utama di daerah dalam pengelolaan dan pengolahan sampah.
Pengelolaan sampah di hampir seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, menunjukkan perjalanan kearah yang lebih keliru dan menjauhi perundang-undangan yang berlaku. Menurut temuan saya di lapangan, bahwa ada kepentingan bisnis yang saling tarik-ulur ditengah badai plastik KPB. Termasuk oknum di pemda sepertinya memanfaatkan issu plastik untuk melanggengkan "kekeliruan" pengelolaan sampah di daerah.Â
Seperti diduga banyak terjadi penyalahgunaan dana-dana sampah, mulai dari tipping fee, retribusi sampah, pengadaan prasarana dan sarana pengelolaan sampah, permainan dana konpensasi warga terdampak TPA dan lainnya.
Puncak masalah atau awal dari Issu Plastik di Indonesia setelah muncul kebijakan KPB. Kebetulan saya yang kritisi dengan keras, karena kebijakan yang dikeluarkan oleh KLHK cq: Dirjen PSLB3 KLHK melalui beberapa kali terbit Surat Edaran. Kekeh serta keras hati tidak mau berubah. Saya menduga keras terjadi gratifikasi (korupsi) dalam pengelolaan dana KPB sejak 2016 sampai sekarang.
Sebenarnya "kekeliruan" kebijakan KPB tersebut tidak perlu terjadi bila KLHK cq: Ditjen PSLB3 mau mendengar saran dan solusi yang saya berikan sejak bulan November 2015 sebelum kebijakan KPB tersebut terlaksana.
Tanpa bosan mengingatkan KLHK dengan berturut-turut dari tahun ke tahun sampai pada tahun 2019 sekarang. Tapi partner KLHK yaitu Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam menerbitkan SE tersebut juga semakin melangkah dengan tidak tahu diri bahwa kebijakan tersebut berpotensi bermasalah.