Sudah berjalan kurang 4 tahun, masyarakat kita masih saja disuguhi wacana murahan tentang issu plastik yang mengarah pada pro-kontra tentang "wacana" plastik ramah lingkungan lalu lebih spesifik ke arah plastik sekali pakai (PSP) dan ahirnya hanya memilih PSP kantong plastik, ps-foam dan sedotan plastik untuk ahirnya dimusuhi.Â
Reduce -pengurangan - disalahartikan atau pemerintah dan pemda salah tafsir, ahirnya membuat solusi keliru menjadi "pelarangan produk". Padahal amanat regulasi sampah terhadap "reduce" bermakna "pengurangan sampah" dengan cara mengelola sampah yaitu pengusaha industri berkemasan diarahkan melalui "SNI" meredesain produknya agar bernilai ekonomi dan/atau kelola sampahnya sendiri dengan meminimalisir sampah di sumber timbulannya, agar tidak menumpuk di TPS atau di TPA. Makanya "Reduce" terangkai satu kata atau kalimat bersama "Reuse dan Recycle".Â
Kantong plastik tidaklah satu kali pakai (minimal dua kali) dan sangat berguna. Mungkin yang melarang kantong plastik, diam-diam pakai kantong plastik di rumah atau kantornya untuk melapisi tempat sampah). Sampah kantong plastik memiliki nilai ekonomi atau dapat di daur ulang. Maka sangat aneh bila dilarang.
Sampah plastik di TPA/TPST itu didominasi PSP sachet, PSP kemasan mie instan dan kantong plastik. Tapi hanya kantong plastik yang banyak dipungut pemulung. Plastik botol sudah minim ke TPA/TPST karena sudah melewati beberapa pemulung bergerak dan petugas angkut sampah itu sendiri yang mengumpulkan plastik botol dan semacamnya.
Pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) sebenarnya sudah faham dan menyadari betul akan hilangnya kepercayaan masyarakat dan pengusaha terhadap sistem pengelolaan (baca: regulasi) sampah di Indonesia. Paham bahwa masyarakat menjadi marah akan kondisi sistem hukum dan regulasi kita yang carut-marut dan diplesetkan.Â
Prihatin dengan kondisi tersebut, penulis menyatakan bahwa hukum dan regulasi persampahan  Indonesia sedang dalam "kondisi darurat regulasi" (regulasi sudah tidak utuh lagi dijalankan oleh pemerintah dan pemda) akibat merebaknya praktek atau plesetan pengertian atau mengaburkan makna regulasi sampah.Â
Plesetan tersebut diperparah karena dilakukan oleh oknum-oknum elit birokrasi. Seakan hendak lepas dari tanggungjawab untuk mengatur tata-kelola sampah - waste manajemen - dengan baik sesuai amanat regulasi.Â
Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan regulasi sampah, otomatis akan membuat tujuan pemerintah dalam menciptakan sistem tata-kelola sampah yang baik tidak akan pernah tercapai. Akibat kepercayaan yang hilang terhadap penegakan hukum atau regulasi.
Maka masyarakat juga mengabaikan haknya dalam mengelola sampah karena kewajiban (baca: retribusi sampah) mereka sudah penuhi.Â
Rusaknya tatanan sistem hukum memiliki akibat yang sangat besar bagi kehidupan bangsa kita yang berujung pada ketidakpedulian lagi masyarakat untuk mengelola sampah, karena terjadi sosial distrust atau sudah tidak ada saling percaya lagi.Â
Phillip Howard, Aktivis Hukum AS, pendiri Common Good, dalam bukunya yang berjudul "How To Fix a Broken Legal System" mengatakan apabila terdapat kondisi dimana tatanan sistem hukum yang dijalankan oleh pemerintah dalam arti luas tidak lagi dipercaya oleh masyarakat, maka akan terjadi yang dinamakan "Universal Distrust Of The System". Â Â