Banjir kembali mengepung Jakarta Selatan dan Jakarta Timur pada hari Kamis (25/04), sempat mengangetkan warga ibukota dengan kedatangan banjir begitu besar tanpa disertai hujan lebat. Ketinggian air sampa 4 meter.
Sesungguhnya banjir tersebut merupakan teguran keras bagi pemerintah dan pemerintah daerah (pemda) yang tidak serius mengurus air dan sampah.Â
Bendung Katulampa di Bogor, Jawa Barat, dinyatakan berstatus Siaga I. Sungai Ciliwung di Jakarta pun meluap dan membuat rumah-rumah warga di sejumlah wilayah yang dilintasi sungai ini kebanjiran.Â
Memang Pemprov. DKI Jakarta, kuranglah bekerja profesional sesuai perkembangan dan kondisi dalam mengatasi air dan sampah. Hanya bekerja berorientasi proyek bukan pada orientasi program. Maka hasilnya tidak maksimal.Â
Sebulan Anies-Sandi sesudah dilantik oleh Presiden Jokowi (16/10/2017) penulis menemui keduanya di Balaikota Jakarta. Khusus menyampaikan hal yang paling krusial sampah dan banjir. Diharapkan untuk melakukan gerakan massif berprogram untuk mengatasi banjir dan ledakan sampah dengan bersinergi kuat dengan daerah penyangga Jakarta.Â
"Anies harus mengenali dan memahami letak geografis Jabodetabekjur dan kondisi pengelolaan sampah Jakarta yang memang masih mengelola sampah secara konvensional alias mis regulasi" Asrul Hoesein, Direktur Green Indonesia Foundation, Jakarta.Â
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, tidak perlu panik berlebihan dengan mengatakan banjir dan sampah Jakarta kiriman dari selatan dll. Karena hanya akan melemahkan dirinya sendiri selaku pemimpin atau sebagai orang yang memanage ibukota negara yang harus bertanggungjawab. Pemimpin harus memiliki mindset yang bermental inovasi. Saatnya lakukan evaluasi dan perubahan.Â
Disarankan pada Gubernur Jakarta agar meninjau langsung posisi hulu Sungai Ciliwung agar bisa mengambil dasar kebijakan dan mengelola air dan sampah Jakarta sesuai amanat regulasi. Jangan hanya bertumpu pada pengelolaan sampah di TPST Bantargebang Kota Bekasi, Jawa Barat.
Jangan bicara apalagi membuat kebijakan tanpa data yang akurat. Apalagi hal sampah, Jakarta sendiri tidak benar mengelola sampahnya. Coba Anies sidak TPS-TPS Jakarta yang umumnya berada di bantaran sungai. Termasuk kalau masih fokus kelola sampah di TPST/TPA Bantargebang, sampah Jakarta akan bermasalah sepanjang masa, ahirnya akan mencemari sungai dan laut.Â
Sebagaimana pantauan langsung penulis (2013) di hulu Ciliwung yang berada di dataran tinggi Gunung Gede, Gunung Pangrango  perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur dan daerah Puncak. Sungai melintasi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok lalu masuk Jakarta.Â
Strategi dasar untuk memotivasi pengelolaan sungai dan sampah. Minimal dari hulu Ciliwung di Gunung Pangrango sampai hilir Sungai Ciliwung Jakarta Utara, harus dibagi 3 (tiga) kategori kualitas air sungai.Â
Kategori untuk kebutuhan manusia, hewan dan untuk kegunaan menyiram tanaman yang di hilir Jakarta. Target ini yang mesti dicanangkan oleh pemangku kepentingan sebagai pondasi pengelolaan air dan sampah se Jabodetabekjur.Â
Gubernur Anies seharusnya menjahit kerjasama atau keharmonisan antar wilayah penyangganya, agar menemukenali masalah dan merancang solusi secara sinergitas. Jangan malah saling menyalahkan. Petik hikmah saja atas banjir tersebut. Agar dengan mudah mengatasinya.Â
Beberapa wilayah yang menyanggah DKI Jakarta yang berada dalam Provinsi Jawa Barat (Jabar) dan Banten seharusnya sinergi dalam menciptakan strategi pembangunan berkelanjutan. Jakarta lah harus menjadi pelopor utama untuk mendukung pembangunan infrastruktur daerah sekitarnya. Jakarta tidak bisa hidup tanpa Banten dan Jabar. Prinsip ini yang harus dipegang oleh Anies dalam memimpin DKI Jakarta.
Tiga provinsi ini menjadi penanggungjawab utama ibukota negara, bukan cuma DKI Jakarta saja. Hal ini merupakan dasar keberadaan Badan Kerja Sama Pembangunan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur (BKSP Jabodetabekjur).Â
Forum BKSP Jabodetabekjur itu harus diefektifkan dan diberi kewenangan perencanaan dalam mengatasi permasalahan antarkota mitra. BKSP Jabodetabekjur harus efektif menjadi konseptor regionalisasi transportasi, sampah, perumahan, banjir sampai kepada memikirkan regional marketing dengan membangun terminal agribisnis, perparkiran di daerah perbatasan kota dll. Terutama kemacetan dan sampah bisa diminimalisir masuk kota Jakarta beserta wilayah kota penyanggahnya.Â
BKSP Jabodetabekjur pada tahun 2013, dimana Jakarta saat itu dipimpin Gubernur Jokowi. Atas usul penulis kepada Gubernur Jakarta, Banten dan Jawa Barat melalui BKSP telah dibentuk sebuah program yang diberi nama Jabodetabekjur Zero Waste (JZW) dimana penulis dipercaya sebagai Sekretaris JZW (2013-2023). JZW diharapkan untuk mengawal program pengelolaan sampah dalam wilayah Jabodetabekjur.
Beberapa program strategis, selain revitalisasi Sungai Ciliwung, terkhusus masalah banjir dan sampah yang menjadi konsentrasi penulis, mengajukan usul ke BKSP untuk secara serius membangun dan secara regional, khusus untuk antisipasi sampah dan banjir yang menjadi penyakit kronis ibukota Jakarta dan sekitarnya, antara lain:Â
Pertama:Â Membangun instalasi pengolahan sampah kawasan disemua titik potensi sampah terbesar, khususnya pasar tradisional dll. Termasuk membangun instalasi olah sampah di 74 kelurahan (27.000 KK) sepanjang bantaran Sungai Ciliwung (Jakarta Selatan ke Utara) dan 13 kali atau anak Sungai Ciliwung yang menghiasi Jakarta.Â
Secara perlahan, massif dan sinergitas  dibangun instalasi pengolahan sampah pada 15 kabupaten dan kota se Jabodetabekjur dengan prioritas dari hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Cianjur, Kabupaten Bogor, Kota Bogor dan Kota Depok serta pada bantaran Sungai Cisadane Kota Tangerang-Banten serta kawasan lainnya yang dianggap berpotensi atau rawan sampah dan banjir.
Kedua: Semua wilayah Jabodetabekjur dan terkhusus DKI Jakarta (minus Kab. Pulau Seribu), membangun massif sumur resapan. Sumur resapan ini sangat penting untuk menahan dan menjadi cadangan air. Karena antisipasi banjir itu bukan mengalirkan air tapi justru menahan air itu sendiri.
Pembangunan sumur resapan dimulai dari pekarangan rumah penduduk, trotoar, median jalan, RPTRA atau taman lainnya, area kolom flyover. Semuanya untuk backup sungai, kali dan waduk yang ada.Â
Semua pembiayaan ditanggung oleh pemerintah dan pemda setempat. DKI Jakarta sedapatnya mensubsidi wilayah penyanggahnya. Kebijakan ini didahului dengan peraturan daerah (perda) untuk masing-masing wilayah.Â
Pembangunannya diserahkan pada kelurahan/desa secara padat karya. Jangan diproyekkan, tapi swakelola dengan melibatkan kekuatan pemerintah lokal. Karena mereka sangat faham masyarakat dan wilayahnya.Â
Mengantisipasi banjir dan sampah Jakarta atau Jabodetabekjur, tidak perlu ide besar dan rumit. Cukup sederhana saja, teknologi dan SDM anak bangsa sudah lebih dari cukup. Mampukan kearifan lokal dengan jalankan perundang-undangan persampahan. Banjir ini merupakan teguran buat pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) agar berbuat lebih baik dan jujur pada rakyatnya.Â
Namun yang sangat perlu diperhatikan adalah kerjasama pembagunan berbasis regional secara utuh, bukan hanya diatas kertas. Perkuat monitoring evaluasi (monev) dengan melibatkan penegak hukum untuk lebih menjaga keberlangsungan pekerjaan dengan jujur dan bertanggungjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H