Mereka menganggap bahwa kesempatan untuk mendapat "materi" di parlemen lebih mudah dan instan bila menjadi anggota legislatif. Bukan menganggap bahwa menjadi legislator itu sebagai ladang pengabdian pada rakyat, bangsa dan negara.Â
Jangan dan hati-hati memilih calon legislator hanya berdasarkan keluarga, teman, sesama golongan atau komunitas saja. Salah pilih, bisa berarti kita memilih sampah yang harus di daur ulang.
Tidak ada waktu untuk mendaur ulang manusia sampah bila sudah duduk di parlemen, sementara kita mengharapkan kinerja profesionalnya sebagai wakil rakyat.Â
Sampah saja bisa dianggap benda mati, itu sangat ribet di daur ulang apalagi manusia. Manusia yang "kebetulan" atau "memaksa" diri menjadi sampah. Pasti daur ulangnya lebih sulit karena merupakan benda hidup dan mereka pasti banyak akal dan alasan. Terlebih kalau pemilihnya bisa atau sudah dibeli - money politik - itu lebih parah lagi.Â
Legislator yang bersangkutan merasa sudah putus dengan pemilihnya. Mereka sudah membayar atau membeli suara yang memilihnya. Ya membeli suara kita, berarti sudah terjadi jual-beli suara, tentulah semua pelakunya akan menjadi manusia sampah.
Janganlah terjadi, mari kita jadikan Pemilu 2019 ini sebagai langkah awal mendaur ulang wajah parlemen yang telah kusam menjadi terang dan bersih kembali dari sampah koruptor dengan cara menjadi pemilih cerdas.
Menjadilah pemilih yang amanah, agar terpilih manusia-manusia yang amanah pula.
Jogja, 15 April 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H