Kesepahaman dan keselarasan pergerakan dalam mengatasi masalah sampah di Indonesia mutlak diperlukan. Urusan sampah yang berbau menyengat ini memang dibutuhkan semangat gotong royong yang tinggi. Tanpa itu semua mustahil bisa menyelesaikan masalahnya.
Percuma saja membahasnya melalui seminar, FGD, workshop, belajar teknologi atau study banding dll. Itu semua hanya menghabiskan energi dan menguras uang rakyat saja. Benar kan?!
Dalam amatan dan faktualisasi yang penulis rasakan dan temukan selaku pemerhati persampahan dan lebih khusus mengawal regulasi sampah. Terjadi disharmonisasi antar stakeholder persampahan Indonesia yang sangat tajam dan saling menelikung serta memangsa satu sama lainnya. Termasuk antar Kementerian, saling tumpang-tindih dan hmmm sangat memalukan.Â
Padahal solusi sampah ini sangatlah mudah, karena regulasi sampah Indonesia sudah masuk kategori ideal dibanding regulasi negara-negara lain.
Hanya memang kelihatan "niat" oknum elit penguasa di kementerian yang ngeyel dan tidak malu. Ahirnya pemerintah daerah (pemda) juga ikutan melanggar regulasi persampahan.
Sebagian besar menganggap sampah tak memiliki sisi menarik. Selain baunya menyengat 'aduhai' sampah juga sangat berpotensi menciptakan beragam penyakit.
Tetapi tahukah kita bahwa dibalik aroma dan penyakit itu, tumpukan sampah adalah tumpukan berlian yang berkilau. Akibat inilah sehingga dugaan penulis para oknum penguasa tersebut tidak mau bergeser dari paradigma lama.
![Ilustrasi: Peta jalan waste management Indonesia. Sumber: Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/03/05/fb-img-1551597947023-5c7d85a0bde5753391040c88.jpg?t=o&v=770)
Perbedaan dan perdebatan itu sah saja, itulah hidup kehidupan yang menghendaki perbedaan, perbedaan untuk bersatu. Karena keniscayaan berbeda lalu bersatu. Dalam perbedaan itu, kita harus belajar dan mengambil manfaat. Siapa yang bisa mengambil manfaat dalam perbedaan serta melihat perbedaan itu dari sisi positifnya, justru dialah yang akan keluar sebagai pemenang.
Tapi sebaliknya jangan karena perbedaan membawa pertentangan, inilah sebuah kebodohan dan hanya berpikir linear. Hadapi perbedaan itu dengan berpikir dan bertindak paradoks.
Begitu pula dalam menyikapi sampah. Haruslah berpikir dan bertindak paradoks dalam menyikapinya. Hanya orang yang berintegritas kelas dewa atau negarawan yang bisa menyelesaikan masalah sampah. Terlalu banyak pecundang dalam lingkaran sampah ini. Sehingga Indonesia berada pada kondisi darurat sampah yang sustainable.
Dalam kehidupan ada agama dengan kitabnya sebagai pedoman dasar berkehidupan dan berketuhanan. Begitu pula dalam bernegara ada pengaturan bernegara, berbangsa dan bertanah air.
Ada Pancasila, UUD'45 dan ada undang-undang atau regulasi dalam bentuk umum dan khusus. Jadi sampah yang memiliki pedoman khusus yaitu UU. No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah serta regulasi turunannya, bisa menjadi patron untuk menuntaskan atau mengurai masalah sampah ini.
Tidak terkecuali ada pula undang-undang atau berbagai regulasi persampahan yang mengaturnya. Ada pedomannya yang harus dipatuhi oleh seluruh pemangku kepentingan atau stakeholder. Dibalik dari regulasi tersebut untuk dijadikan peta jalan, ada integritas, etika dan profesionalisme yang menjadi alas keberhasilan mengurai sebuah masalah persampahan.Â
Maka jelaslah bahwa masalah sampah ini dapat dengan mudah diatasi bila stakeholder menyamakan sikap dan persepsi terhadap regulasi persampahan yang ada.
Mari hentikan disharmonisasi, khususnya pada lintas kementerian. Tidakkah Anda malu sebagai pembelajar yang ditertawai oleh dunia dan terlebih ditertawai oleh orang-orang yang berpendidikan rendah yang bermukim diperdesaan. Malu ach!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI