Solo (21/12/18) Sangat prematur alasan pemerintah untuk menerapkan cukai kantong plastik (CKP) dengan tujuan mengendalikan penggunaan plastik di Indonesia demi kelestarian lingkungan. Terlebih setelah menganalisa draf RPP-CKP, pemerintah seperti memiliki target untuk memaksakan sebuah produk pengganti kantong plastik yang diklaim ramah lingkungan.
Karena sesungguhnya tidak ada jenis plastik yang ramah lingkungan bila tersentuh langsung dengan tanah dan air, semua plastik meninggalkan jejak mikropkastik yang berbahaya bagi hewan, tumbuhan dan manusia. Kebijakan inipun terjadi sesat pikir karena siapa yang bisa membayar cukai, berarti bisa merusak lingkungan dengan bayar mahal.Â
Sebuah paradigma berpikir yang keliru dan instan dalam mengambil kebijakan dan berpotensi merugikan masyarakat dan akan menguntungkan produk-produk tertentu.
Sampah memang unik dan sexi untuk dibahas, kenapa tidak, karena dalam menemukenali "solusi sampah" oknum birokrasi berani menciptakan intrik-intrik yang sungguh menggelikan dan bisa memabukkan dan diduga membohongi publik demi mengejar "ambisi" materi dan kekuasaan. Maka lahirlah varian-varian solusi yang saling tumpang tindih dan saling memanfaatkan dalam kondisi yang sempit.
Asrul: Ada penumpang aseli (kebijakan kantong plastik berbayar) dan ada penumpang gelap antara lain variannya adalah; PPN DUP, ITF atau Listrik Sampah, Cukai Kantong Plastik, Aspal Mix Plastik, Perwali Larangan Penggunaan Kantong Plastik, Kantong Plastik berkedok Ramah Lingkungan, Larangan Sedotan Plastik dll, entah apa lagi yang akan dimunculkan ke depan.
Sejak tahun 2016 yang lalu wacana "Cukai Plastik" sudah bergelora, yang ahirnya bergeser atau mengerucut menjadi "Cukai Kantong Plastik" ini  jelas digulirkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan alasan sungguh sangat prematur, skenario sangat mudah terdeteksi, yaitu untuk menutup borok kebijakan kantong plastik berbayar.
Lalu KLHK melibatkan kementerian lain untuk menambah powernya atau menjadi pembahasan resmi pada lintas kementerian terkait diantaranya Kementerian Kordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian dan KLHK itu sendiri sebagai leading sector persampahan.Â
Lintas kementerian tersebut telah mengadakan Rapat Koordinasi Pembahasan Rencana Kebijakan Pengenaan Cukai Terhadap Kemasan Plastik pada tanggal 10 Januari 2018 di Kantor Menko Bidang Ekonomi, Jakarta.
Motivasi dan Skenario Cukai Kantong Plastik
Sejak kegagalan Surat Edaran Dirjen PSLB3 Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) No. S.1230/PSLB3-PS/2016 tertanggal 17 Februari 2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar, yang diberlakukan sejak tanggal 21 Februari 2016 yang ahirnya Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) sekitar bulan oktober 2016 menghentikan secara sepihak pelaksanaan penjualan kantong plastik berbayar.
Dirjen PSLB3 KLHK yang didukung beberapa LSM dan NGO, tidak mati akal dengan menerbitkan kembali beberapa kali surat edaran sekaitan kantong plastik berbayar (KPB) tersebut, demi untuk tetap melanjutkan kebijakan KPB yang sangat bermasalah dalam pelaksanaannya yang diduga terjadi penyalahgunaan wewenang oleh KLHK (abuse of power) yang sampai saat ini belum dipertanggungjawabkan.
Dalam membaca dan menyimak berita di Bea Cukai Optimis Cukai Plastik Bisa Diterapkan di 2019. Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi optimis kebijakan itu dapat diterapkan tahun 2019. Dugaan kuat bahwa Dirjen Bea Cukai dan Komisi IX DPR-RI ini sepertinya mendapat informasi sepihak dari KLHK tentang bahaya kantong plastik dan tentu tidak mendapat penjelasan riel tentang gagalnya kebijakan KPB, serta pasti belum memahami sepenuhnya bahwa pengelolaan sampah mempunyai pedoman atau regulasi sampah yang sangat baik dan komprehensif bila dijalankan dengan baik oleh para pihak. Bukan dengan penerapan cukai kantong plastik, yang nyata bahwa cukai ini melabrak UU. No. 18 Tahun 2018 Tentang Pengelolaan Sampah.
Selain alasan pemerintah tersebut diatas juga menargetkan penambahan pendapatan negara dari sektor cukai kantong plastik. Alasan ini tidak masuk akal. Malah akan menambah beban konsumen, karena toko ritel atau pedagang penjual barang harus menyiapkan kantong kepada pembeli. Penyiapan kantong itu merupakan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang dagangannya beserta kemasan pada pembeli dan ini sudah diatur dalam Pasal 612 dan Pasal 1320 KUH Perdata. Jadi jelas cukai kantong plastik ini akan berefek domino ke masyarakat. Karena tidaklah mungkin pedagang mau rugi. Pasti akan menaikkan nilai barang dagangannya untuk menutupi harga kantong lainnya bila kantong plastik dinilai mahal karena cukai oleh pedagang. Kantong plastik merupakan kantong kemasan yang termurah dibanding jenis kemasan lainnya.
Perang Opini Antar Kementerian.
Diharapkan kepada Presiden Jokowi melalui Menteri Keuangan c/q Dirjen Bea Cukai agar segera menghentikan rencana RPP-Cukai Plastik ini, sebelum mendapat penolakan yang berakibat lebih parah lagi. Karena sudah sangat jelas remcana ini tidak masuk akal. Malah pengelola sampah atau bank sampah semestinya mendapat kompensasi dari pemerintah dan pemerintah daerah yang telah diamanatkan oleh perundang-undangan.
Jadi kelirulah pemerintah bila pengenaan cukai plastik dianggap merupakan salah satu strategi ekstensifikasi Ditjen Bea dan Cukai. Karena kebijakan cukai kantong plastik ini bermula dari KLHK. Juga Menteri Keuangan terlalu ambisi dalam targetnya pada APBN 2018 dan memanfaatkan momentum gagalnya KPB dengan mematok target penerimaan dari pengenaan cukai plastik senilai Rp.500 miliar. Sepertinya pemerintah sudah kehabisan akal siasati "waste management" Indonesia.
Kemenkeu tidak memahami UU.18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah, terlebih tidak menelisik latar belakang RPP-CKP pada point dua tentang kenapa dan ada apa kebijakan kantong plastik berbayar oleh KLHK itu gagal dan menggantinya dengan cukai kantong plastik. Presiden Jokowi harus turun tangan dan menyetop rencana CKP yang cukup memakan waktu pembahasan lintas menteri tersebut.Â
Karena jistru saat ini terjadi silang pendapat dan perang opini antar kementerian akibat CKP ini memang tidak memiliki landasan kuat untuk dilaksakan.
Green Indonesia Foundation
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI