Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Intip Kegagalan Pemerintah dalam Urusan Sampah Indonesia

7 Mei 2018   20:45 Diperbarui: 8 Mei 2018   08:25 2377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesungguhnya masalah sampah sangatlah mudah diselesaikan. Tinggal niat dan karakter yang kuat terhadap diri dan imannya saja si oknum birokrasi, itu yang menjadi kunci utama keberhasilan. Justru paradigma birokrasi yang tidak beres dalam tata kelola sampah Indonesia.

Kelihatan sepele, tapi ternyata pemerintah tidak mampu menciptakan sebuah solusi yang benar dalam menyelesaikan masalah sampah ? Hanya berkutak-katik mencari solusi "pembenar" untuk kepentingan sesaat sekaligus menghindari solusi atau input yang benar dalam menutupi kebingungannya.

Banyaklah gerakan-gerakan seremoni yang tercipta hanya sebagai penghias solusi, dapat diduga hanya menghibur masyarakat yang tidak memahami masalah sampah. Itu semua bisa dikategorikan sebagai pembohongan publik besar-besaran dan ahirnya menguras APBN/D hanya menciptakan kebijakan semu dan sesat, contoh Kebijakan Kantong Plastik Berbayar (KPB) sangat merugikan konsumen dan diduga terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus ikut bertanggung jawab dalam masalah KPB. Sampai saat ini, dana KPB belum dipertanggungjawabkan. Kemungkinan besar dugaan korupsi KPB ini akan masuk ranah KPK karena terindikasi terjadi gratifikasi atas pelaksanaannya.

Setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan gagal melaksanakan Kebijakan KPB, muncul lagi pikiran baru KLHK yang didukung atau mencari dukungan kepada yang tidak paham masalah yaitu Kementerian Kordinator Bidang Maritim, Kementerian Kordinator Bidang Ekonomi, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan untuk menerapkan Cukai Kantong Plastik.

Kebijakan cukai ini sangat jelas akan merugikan masyarakat karena akan berdampak kenaikan harga barang berkemasan plastik dan bisa saja bias ke barang lainnya, juga menghambat investasi dan industri daur ulang. Sangat jelas bahwa kebijakan Cukai Kantong Plastik ini sebuah tindakan akal-akalan saja untuk mengganti Kebijakan KPB (silakan baca dasar pelaksanaan cukai kantong plastik tersebut). Rencana cukai kantong plastik ini, DPR dan Presiden Joko Widodo harus menolaknya. Kenapa seh KLHK tidak bertindak bijak dalam sikapi sampah. Cara berpikir linear yang loncat sana-sini tanpa arah yang jelas. Tiba masa tiba akal (manajemen of crisis).

Senyatanya pemerintah dan pemda tidak mau melaksanakan dan mengikuti regulasi sampah dengan benar, sesungguhnya ini semua sudah "diduga" mengarah pada tindakan pidana, yaitu menyalahgunakan wewenang (abuse of power). Hanya berputar pada porosnya untuk saling membela dalam komunitasnya untuk menutupi kesalahannya sendiri.

Sungguh geli dan risih menyaksikan oknum pejabat birokrasi dan mitra kerjanya yang berpikir sempit seperti itu. Muncullah wacana berlebihan atas sampah plastik, padahal itu tidak ada apa-apanya bila jalankan regulasi dengan benar. Semua solusinya sangat mudah bila berpikir jernih, jujur dan sehat. Kapan seh semua mau sadar ? Janganlah sandera diri dan pengalaman Anda hanya karena kepentingan sesaat.

Regulasi Sampah Sangat Baik

Dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), pada Pasal 13 berbunyi "Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya wajib menyediakan fasilitas pemilahan sampah" dan selanjutnya dipertegas lagi dalam masa pelaksanaannya pada Pasal 45 berbunyi"Pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya yang belum memiliki fasilitas pemilahan sampah pada saat diundangkannya Undang-Undang ini wajib membangun atau menyediakan fasilitas pemilahan sampah paling lama 1 (satu) tahun"

Menyimak dan menelaah pasal-pasal UUPS tersebut diatas, sangatlah nyata bahwa sampah kawasan harus dikelola di sumber timbulannya dan menjadi kewajiban pihak pengelola atau pemilik kawasan. Jelas bila pasal tersebut diaplikasi, sangatlah memudahkan pemerintah dan pemda dalam mengurusi sampah, khususnya biaya APBD untuk pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan di Tempat Pengelolaan sampah Ahir (TPA) tidak diperlukan lagi.

Terlebih pula pemda tidak perlu mengeluarkan dana besar untuk mengeluarkan biaya besar di TPA untuk biaya operasional di TPA serta membayar Dana Kompensasi Warga Terdampak TPA, juga biaya-biaya operasional lainnya yang bisa banyak terserap di TPA. Sampah di TPA memang berbau menyengat, tapi fulusnya sangat harum. Yuk penegak hukum, coba sesekali nikmati bau dan sedapnya aroma fulus di persampahan.

Asrul "Pada Pasal 13 dan 45 UUPS nampak tertulis - prasa wajib - sangat jelas bila pasal ini tidak dijalankan oleh pengelola kawasan akan berimplikasi pidana dan bisa dipolisikan. Begitupun pemerintah dan pemda bisa digugat oleh masyarakat pada PT. TUN karena tidak jalankan regulasi dalam pengelolaan sampah kawasan"

Kenapa Pemerintah dan Pemda tidak taat regulasi ? Dan diduga keras terjadi unsur koruptif dan bermotif sbb;

  1. Pemerintah cq; Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak tegas dalam mengambil kebijakan untuk "mengarahkan" pemda untuk melaksanakan pengelolaan sampah di kawasan timbulannya. Sehingga pemda juga merasa senang dengan kelemahan sikap KLHK tersebut. Terjadi main mata antara pusat dan daerah. Apalagi dikaitkan dengan penilaian Adipura, diduga terjadi jual beli atas penghargaan tsb. Contoh Kota Makassar sangat tidak wajar mendapat Adipura (perhatikan pakta TPA Tamangapa Kota Makassar yang jarak antara TPA dan Perumahan hanya sekitar 6 (enam) meter saja. Seharusnya Adipura Kota Makassar itu ditarik atau dianulir. Juga daerah-daerah lain umumnya tidak pantas dapat Adipura. Presiden Jokowi seharusnya Moratorium Piala Adipura.
  2. Pemda ingin selalu monopoli pengelolaan sampah, agar dengan mudah mengeluarkan APBN/D atau bentuk dana lainnya dengan tetap mengelola sampah secara kompensional (birokrasi ber paradigma lama).
  3. Biaya operasional mulai pengumpulan, pengangkutan dan pengelolaan sampah di TPA berupa Tiping Fee, CSR dan lainnya sangat diduga keras dapat dijadikan bancakan korupsi. Termasuk dengan mudah dapat memanipulasi data dan dana kompensasi warga terdampak TPA. Hal ini kurang dilirik oleh penegak hukum. Coba KPK, jadikan ulasan ini sebagai jalan untuk menyelidiki dan menyidik masalah ini.
  4. Pengadaan prasarana dan sarana persampahan tetap dilakukan walau tidak sesuai azas manfaatnya,  termasuk pengadaan kendaraan angkutan sampah, mobil penyapu jalan sampai alat berat di TPA.
  5. Kalau sampah dikelola di kawasan timbulannya, pemda tidak lagi seenaknya mengeluarkan dana pengelelolaan sampah yang besar, karena pengelolaan sampah berpindah kepada pemilik kawasan dan kepala desa atau kelurahan sebagai ujung tombak utama pengelola sampah. SKPD persampahan takut kehilangan fulus pengelolaan sampah.
  6. Pemerintah dan pemda memaksa membangun PLTSa di TPA dimana saat ini menggunakan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan (PLTSa), untuk 12 Kabupaten dan Kota di Indonesia. Dimana dasar sebelumnya telah dicabut oleh Mahkamah Agung atas gugatan Komunitas Nasional Tolak Bakar Sampah yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 18 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah di DKI Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya dan Kota Makassar.
  7. Perpres No. 35 Tahun 2018 dan Perpres No. 18 tahun 2016 ini jelas sama saja pelanggarannya dan hanya merupakan reinkarnasi perpres sebelumnya. Perpres No.35 Tahun 2018 ini tidak lama lagi harus digugat untuk dibatalkan (PLTSa ini juga disamping berinvestasi besar, juga akan meraup Tiping Fee yang besar pula sekitar Rp. 300.000 s/d Rp. 500.000 per ton - angka yang jadi target permainan). Jadi seharusnya pemerintah menyadari apa sesungguhnya kesalahan mendasar Perpres PLTSa ini. Jelas pada ahirnya bila pemerintah tetap menjalankan Perpres 35 Tahun 2018 ini dapat dipastikan akan menimbulkan resistensi, baik dari sisi hukum, sosial, ekonomi, kesehatan dll. Intinya Perpres PLTSa ini melanggar UUPS, yang seharusnya sampah dikelola di sumber timbulannya sesuai Pasal 13 dan Pasal 45 UUPS dan bukan dikelola secara sentralistik seperti di TPA atau PLTSa (PLTSa itu model TPA gaya baru). 
  8. Inilah bukti arogansi oknum-oknum pemerintah dan para mitranya yang menyandera oknum "orang pintar" atas ilmu dan pengalamannya di dalam menjalankan fungsinya sebagai regulator dan fasilitator dalam persampahan, sehingga tidak pernah menemukan solusi yang benar-benar komprehensif dan pro rakyat.

Ilustrasi Tahap Kelola Sampah (dok: pribadi)
Ilustrasi Tahap Kelola Sampah (dok: pribadi)
Sesungguhnya sampah sangat mudah dikelola dan diselesaikan, bila pemerintah dan pemda taat dan jujur menjalankan regulasi persampahan yang ada. Pekerjaan pemda menjadi ringan, termasuk biaya-biaya yang akan timbul tersebut dapat di tekan termasuk biaya pengadaan lahan TPA. Karena hampir pasti dana pihak ketiga yang menjadi kewajibannya bisa mendanai pengelolaan sampah ini, tanpa harus menggunakan banyak dana APBN/D. Singkatnya pemda paling tidak mendukung Bank Sampah dalam melakukan aktivitasnya sebagai sosial engineering dan peningkatan ekonomi kreatif berbasis sampah.

Sebuah fakta "pembiaran" negatif dan massif yang dilakukan pemerintah dan pemda dalam pengelolaan sampah selama ini. Sehingga muncullah masalah-masalah yang sesungguhnya tidak perlu terjadi bila pasal 13 dan pasal 45 UUPS ini dijalankan. Misalnya sampah di laut, sungai dll tidak akan pernah ada bila pola pengelolaan sampah dilaksanakan di sumber timbulannya. 

Buat pengelolaan sampah di masing-masing kawasan  pelabuhan, baca dan belajar solusi Klik di Sini. Tidak usah malu mengikuti solusi yang telah diberikan. Indonesia ini terlalu besar bila hanya komunitas Anda yang ABS dan AIS yang mau memikirkannya (Baca: SOP Strategi Solusi Sampah) yang ada di KLHK dan Lintas Menteri. Karena strategi dari kami tersebut sudah mengikuti regulasi sampah yang ada. Termasuk Strategi Atas Solusi Sampah di Laut, sila Bro and Sis Klik di SINI. Sadarlah bahwa Tuhan Ymk akan menutup mata dan pikiran orang-orang yang dzalim pada diri dan orang lain. Semoga Allah Swt memberi maaf dan kesadaran padamu untuk berhenti dzalimi rakyat Indonesia.

Bila pengelolaan sampah dilaksanakan sesuai regulasi maka:

  1. Mengurangi biaya yang sumbernya dari PAD atau APBN/D dan sebaliknya akan memasukkan sumber PAD baru dari kontribusi atas pengelolaan sampah dari pihak pemilik atau pengelola sampah kawasan.
  2. Tercipta dan terbangun usaha serta lapangan kerja baru.
  3. Pekerjaan pemerintah dan pemda lebih ringan karena hanya melakukan monitoring dan evaluasi disamping fungsi regulator dan fasilitator.
  4. Sekitar 80% kendali pengelolaan sampah akan bergeser dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) ke pemerintah desa atau kelurahan yang bermitra dengan masyarakat atau pihak pengelola sampah kawasan di masing-masing wilayahnya. Maka sangat di pahami bahwa kenapa masalah ini dihindari oleh pemda. Karena fulusnya kurang dikelola lagi dan berpindah tuan !!!

Kesimpulannya bahwa solusi sampah bukanlah di Hilir (TPA, Sungai, Danau, Laut PLTSa, dll), tapi solusi sampah di Hulu atau sumber timbulan sampah itu sendiri. Yuk jujurlah dalam jalankan regulasi, hentikan cara-cara kompensional yang beraroma korupsi dan kotor tersebut. Sesungguhnya para oknum birokrasi leading sector (pemerintah dan pemda) persampahan itu sudah terpantau permainan-permainan negatif didalam pengelolaan sampah ini. Bila Anda tidak hentikan kerja curang tersebut, Anda akan lebih buruk dari sampah dan bisa jadi Anda akan menempati kamar baru di Hotel Prodeo.

Diharapkan kepada para penegak hukum mulai dari pusat sampai ke daerah, dapat menjadikan ulasan ini sebagai informasi awal di dalam penyelidikan dan penyidikan (lidik dan sidik) masalah "korupsi" dalam tata kelola sampah yang tidak kunjung selesai, malah semakin menjadi masalah besar dan terjadi "darurat korupsi" sampah secara berkelanjutan tanpa punya niat untuk merubah paradigmanya dalam menyikapi sampah. Sampah akan tetap selalu menjadi bancakan korupsi, bila pemerintah dan pemda tidak merubah mindsetnya dalam kelola sampah Indonesia.

Saran:

Kementerian Kordinator Maritim (Kemenkomar) atau Kementerian Kordinator Ekonomi, harap serahkan sepenuhnya pengelolaan sampah pada KLHK dan kementerian lainnya yang memang punya hak mengurus sampah ini. Nampak kebijakan yang keliru, seperti Perpres PLTSa, Aspal mix Plastik dll. Seharusnya para Kantor Menko tersebut bila faham masalah sampah. Maka hanya akan mendorong kementerian terkait dan pemda untuk fokus melaksanakan pengelolaan sampah kawasan atau melaksanakan regulasi dengan benar, bukan memaksa bangun PLTSa. Sadarlah bahwa apa yang pemerintah lakukan selama kurun waktu 3 (tiga) tahun ini dalam pengelolaan sampah, hampir semua keliru dan stag.

Bila regulasi sampah dijalankan dengan benar, maka biaya lebih efektif dan efisien serta pro rakyat (circular economy). Bukan bangun PLTSa berbasis konglomerasi dan tidak pro rakyat. Tidak perlu selalu mencari celah dengan membuat aturan-aturan atau permen atau perpres hanya akan mencari pembenar atau ingin melindungi kesalahan yang ada. Mari jujur pada rakyat. Mari tegakkan Pancasila dalam urusan sampah.

Semoga Bisa Sadar !!!!! 

Berita Terkait:

  1. Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia
  2. "Sampah" Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi
  3. Solusi Sampah Laut dan Sungai
  4. Mati Hidup Perpres Listrik Tenaga Sampah
  5. Haru Biru Cukai Kantong Plastik dan Solusinya
  6. Tantangan dan Peluang Koperasi dalam Pengelolaan Bank Sampah
  7. Catatan untuk Menteri LHK tentang Regulasi Sampah
  8. Ketika Isu "Sampah" Mendadak Seksi di Kabinet Jokowi
  9. Aneh, Menteri Pertanian Tidak Dilibatkan Dalam Jaktranas Sampah
  10. Mahkamah Agung Cabut Perpres 18 Tahun 2016 Tentang Pembangunan Listrik Sampah 7 Kota
  11. Pemulung Sampah Diberdayakan Melalui Primer Koperasi Bank Sampah
  12. Presiden Jokowi Harus Segera Revisi Jaktranas Sampah Indonesia
  13. Asrul Bicara Sampah di Menko Ekonomi
  14. Asrul Bicara Sampah di FGD Menkop/UKM Tentang Primer Koperasi Bank Sampah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun