Mohon tunggu...
H.Asrul Hoesein
H.Asrul Hoesein Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang Sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Jakarta http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Pemerhati dan Pengamat Regulasi Persampahan | Terus Menyumbang Pemikiran yang sedikit u/ Tata Kelola Sampah di Indonesia | Green Indonesia Foundation | Founder PKPS di Indonesia | Founder Firma AH dan Partner | Jakarta | Pendiri Yayasan Kelola Sampah Indonesia - YAKSINDO | Surabaya. http://asrulhoesein.blogspot.co.id Mobile: +628119772131 WA: +6281287783331

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kebijakan dan Kebajikan dalam Pengelolaan Sampah

29 April 2018   01:35 Diperbarui: 30 April 2018   07:36 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Berkorban untuk Kehidupan (Konten Kreatif)

'Telah kau sadari bahwa orang baik yang bertempat di pembuangan sampah sekalipun akan berjasa dan mulia karena ia telah menyingkirkan sampah yang mengganggu masyarakat. Namun sebaliknya, orang yang jahat, sekalipun bertahta di tempat mulia dan terhormat, ia adalah perusak dan pengacau masyarakat karena ia sebetulnya adalah sampah" demikian petuah bijaksana dari K.H. Hasan Abdullah Sahal dalam buku Wisdom of Gontor.

Judul dan substansi tulisan ini terinspirasi dari komentar sahabat seprofesi di persampahan Mas Agus Subagya di Bantul DIY dengan komentarnya di lapak FaceBook "Reduksi sampah adalah memperluas pengolahan volume sampah menjadi bernilai ekonomi. Sapientia et Virtus/Kebijakan dalam kebajikan" atas status saya Pengurangan Sampah bukan Pengurangan Pakai Produk.

Ada maksud apa status FB tersebut ? Ya, tujuannya adalah meluruskan paradigma kelola sampah Indonesia. Fakta terjadi di dalam pengelolaan sampah, bahwa progres dengan gaya "solusi dan kampanye" oleh oknum birokrasi dan didukung sebagian besar Asosiasi, LSM, NGO, penggiat sampah dan lingkungan berpotensi mempengaruhi terjadinya persepsi yang bisa membingungkan masyarakat.

Bila dibiarkan berlalu begitu saja, akan merusak tatanan ekonomi nasional. Sangat terbaca modus yang mengikutinya, diduga terjadi konsfirasi dan kepentingan besar didalamnya. 

Secara de jure dan de fakto menyerang produk (barang) dalam kampanyenya untuk mengurangi sampah, bukan produk sampah atau sisa pemakaian produk yang di kurangi atau diminimalisir atau di"zero"kan melalui kelola sampah tersebut. Padahal perintah kelola atau pengurangan sampah ini sangat jelas tercantum dan runtun dijelaskan dalam regulasi persampahan yang ada. 

Dalam kondisi seperti ini, timbul pertanyaan sederhana bahwa:

  1. Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) tidak membaca gejala negatif ini ya ? Bahwa kurang lebih tiga tahun ini (2015-2018), proggres yang ditunjukkan oleh kementerian yang menangani persampahan tidak menunjukkan fakta positif di lapangan bila dibandingkan solusi atau pertemuan membahas masalah di tingkat pusat (baik melalui gerakan bersih, seminar, FGD dll). Tidak ada proggres yang solutif. Sementara menolak solusi yang kami Green Indonesia Foundation Jakarta pada setiap kesempatan pertemuan resmi dan tidak resmi tingkat kementerian dan pemda, termasuk pada Pemprov. DKI Jakarta. Semuanya masih berparadigma lama kumpul-angkut-buang dalam kelola sampah. Semua mis regulasi sampah. Fakta klik di "Asrul Bicara Sampah di Menko Ekonomi"
  2. Apakah juga Jokowi-JK dan seluruh menteri terkait tidak pernah membaca surat dan laporan-laporan yang saya kirim secara resmi ?
  3. Apakah Jokowi-JK sadar bahwa proggres beberapa kali Rapat Kabinet Terbatas (Ratas) tentang persampahan belum membuahkan hasil signifikan dan tanda ke arah proggres yang benar juga tidak ada, bahkan bila ada kebijakan pasti mendapat resistensi yang cukup signifikan. Antara lain dicabutnya Perpres 18 Tahun 2016 tentang PLTSa, penolakan Kebijakan Kantong Plastik Berbayar yang sampai saat ini masih menyimpan misteri atas dana kantong plastik tersebut.
  4. Apakah para penegak hukum termasuk Badan Intelijen Negara (BIN) republik ini, tidak pernah membaca situasi atau setidaknya membaca berita dalam media mainstream dan online perihal sengkarut atau ke"darurat"an sampah Indonesia ?
  5. Apakah para sahabat asosiasi, lembaga swadaya masyarakat, penggiat atau pemerhati sampah, komunitas atau paguyuban sampah dan lingkungan, pengelola atau tokoh penggerak bank sampah lainnya tidak menyadari kondisi carut marut persampahan yang saat ini, Indonesia banyak disuguhi gerakan-gerakan parsial atau seremoni seakan dan diduga semua itu adalah "pembohongan dan pembodohan publik" termasuk penilaian Adipura sungguh memuakkan dan membawa banyak tanya ?
  6. Apakah para ahli-ahli dan pemerhati pertanian dan perkebunan tidak membaca kegagalan Kementerian Pertanian dalam memenuhi target "Subsidi Pupuk Organik" lebih disebabkan karena pemerintah dan pemda tidak memberdayakan sampah organik berlimpah untuk dijadikan pupuk organik kompos ?
  7. Apakah jurnalistik atau komunitas media juga ikut luput tidak membaca situasi dan kondisi darurat sampah ini, sehingga hampir pasti pemberitaan dugaan permainan negatif dalam persampahan ini seperti tenggelam ditelan masa ?

Kebijakan dan Kebajikan dalam Kelola Produk dan Sampah

Pemerintah (Presiden dan DPR) tentu dengan kebijakannya berdiri industri-industri untuk memproduksi bermacam produk dengan masing-masing bentuk perlindungan baik terhadap hukum, industri, tenaga kerja, produk dan perlindungan konsumen dari sisi kesehatan, lingkungan dll. Segudang kebijakan. Indonesia dikenal sebagai negara terbanyak memiliki regulasi. Tapi kadang berani melabrak regulasi.

Padahal sangat jelas dalam Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (UUPS), senyatanya terdapat ancaman pidana bagi pelanggarnya. Termasuk yang memberi informasi keliru melalui media mainstream dan media elektonik serta media online (medsos) bisa dan berpotensi terjerat UU. ITE perihal menyebarkan kebencian. Termasuk kegiatan atau gerakan yang merusak tatanan ekonomi, bisa terjerat UU. Tipikor.

Industri yang mengikuti kebijakan tentu akan menghasilkan produk yang baik. Selanjutnya akan muncul usaha distribusi atau suplier dan pedagang atau pengusaha sehingga sampailah produk itu di tangan konsumen (baca:masyarakat).

Ada pemakaian atau penggunaan produk oleh konsumen maka tersisalah barang yang disebut sampah. Semakin tinggi taraf ekonomi masyarakat juga seiring meningkatnya belanja, tentu semakin banyak sampah pula yang bisa diberdayakan, itulah mungkin sebuah kebijakan mendapatkan kebajikan. 

Tentunya sampah ini pula harus dikelola sebagaimana proses pengelolaan dari awal produk itu, yang juga memiliki kebijakan tersendiri dalam menyambut kebijakan industrinya. Bila ada yang salah di lapangan, misalnya terjadi pencemaran lingkungan atau kesehatan.

Maka sangat mudah mendeteksi dimana titik masalahnya untuk mendapatkan solusi. Bukan dengan cara memutarbalikkan fakta dengan menolak keniscayaan dalam era milenial. Era dimana konsumen menjadi manja, butuh pelayanan yang serba cepat, berkualitas dan murah.

Seluruh rangkaian produk, distribusi dan sampah, itu semuanya akan terjadi penyerapan tenaga kerja. Baik tenaga kerja yang sudah ada, maupun tenaga kerja yang akan terserap memenuhi lapangan kerja baru dari sektor sampah yang akan tercipta atas karya kreatifitas positif dari pengelolanya.

Jadi jangan salahkan produknya, janganlah dilarang menggunakan produk. Mengantisipasi sampah, bukan sumber produknya yang dimusuhi, ini perbuatan fatal dan berpotensi pidana. Bila sampahnya bermasalah, maka periksa kebijakan (aturan), jalan atau tidak dan kebajikan stakeholder (manusia) yang mengikutinya, apakah sudah peduli pada produk sampahnya. Masalah sampah sangat jelas solusinya dan jangan sengaja diberat-beratkan untuk tujuan tertentu. 

Kebijakan adalah serangkaian konsep dasar pelaksanaan suatu tindakan, atau cara bertindak yang penuh dengan tata aturan yang mengacu pada ketetapan peraturan yang ada. Kebijakan adalah rujukan yang diperuntukkan untuk mengarahkan manusia kemana dan dimana harus melangkah.

Janganlah memaksa pemasaran sebuah produk dengan membunuh produk lain dengan alasan menjaga bumi atau lingkungan. Semua cara-cara tidak sehat ini, bisa terindikasi pidana.

Apalagi memaksakan sebuah kebijakan publik, itu bisa berakibat penyalahgunaan wewenang (abuse of power), seperti yang terjadi pada kebijakan kantong plastik berbayar yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) cq: Dirjen PSLB3 dengan Surat Edaran (SE) KLHK Nomor S.1230/PSLB3-PS/2016 tanggal 17 Februari 2016.

Sangat jelas melanggar beberapa kebijakan diatasnya regulasi seperti UU. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah termasuk juga melanggar UU. Perlindungan Konsumen, CSR dll. Inilah salah satu contoh kebijakan yang keliru menyikapi sampah ahirnya tidak membuahkan kebajikan pada masyarakat.

Begitupun kebijakan terhadap sampah organik, petani tidak mendapat kebajikan dalam prosesnya. Bahkan petani menganggap pupuk organik tidak kalah baik dengan pupuk kimia. Semua ini akibat perlakuan kebijakan (regulasi) yang keliru oleh birokrasi terhadap sampah.

Kebijakan + Kebajikan = Harmonisasi

Kebijakan yang tidak disertai kebajikan, tentunya menghasilkan "disharmonisasi" dalam kehidupan, bukan saja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun juga dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sebagai mahluk Tuhan yang bersosialisasi.

Kebajikan adalah sesuatu perbuatan, tindakan, kesadaran dan tenggang rasa dari seseorang terhadap orang lain yang sama--sama hidup di dunia. Manfaat yang ada dan melekat dalam kehidupan manusia sebagai keniscayaan.

Ketika kebajikan melekat dalam kehidupan manusia maka harmonisasi yang ada dalam masyarakat tercipta dan itu harapan semua manusia yang manusiawi, yang ada dalam diri kita semuanya. Maka lahirkan sikap kebajikan dimana pun kita berada terhadap apapun dan siapapun, bukan pada kepentingan pribadi dan kelompok semata. 

Disadari bahwa dalam melahirkan semua ini, dibutuhkan kepekaan intelektual, kepekaan emosional dan kepekaan spritual. Kebijakan dan kebajikan seseorang menunjukkan kearifan, menampakkan kematangan dan ketinggian spiritualitasnya. 

Mari berjalan dari kebijakan menuju kebijaksanaan dalam mewujudkan kebajikan kepada semuanya secara komprehensif dan tanpa ada yang menjadi korban. Janganlah kita menjadi sampah di tengah sampah itu sendiri.

Berita Terkait:

  1. Haru Biru Cukai Kantong Plastik dan Solusinya
  2. Mati Hidup Perpres Listrik Tenaga Sampah
  3. Menyingkap Tabir Regulasi Sampah Indonesia
  4. Tantangan dan Peluang Koperasi dalam Pengelolaan Bank Sampah
  5. "Sampah" Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi
  6. Asrul Bicara Sampah di Menko Ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun